10 PRINSIP KEWIRAUSAHAAN MENURUT
OSBORNE DAN GEABLER YANG DILAKSANAKAN OLEH PEMERINTAH INDONESIA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Mewirausahakan Birokrasi
Penjelasan kalimat mewirausahakan birokrasi adalah bukan
bagaimana birokrasi tersebut melakukan wirausaha untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya, namun mewirausahakan birokrasi disini berarti mengubah
system, atau pengaturan birokrasi yang kaku, kulturis, dan irasional.
Di era otonomi daerah ini menurut saya
konsep mewirausahakan birokrasi sangatlah baik untuk diterapkan karena dengan
adanya otonomi membuat setiap daerah berupaya untuk mengatur birokrasi agar
dapat berjalan secara akuntabilitas, responsive, inovatif dan professional
serta entrepreneur. entrepreneur disini berarti pemerintah daerah mempunyai
semangat kewirausahaan dimana birokrasi diusahakan lebih inovatif dalam
memberikan pelayanan public agar dapast menjawab perkembangan masyarakat di era
globalisasi.
Mewirausahakan birokrasi sangatlah tepat
diterapkan pada pendekatan
New Public Manajemen (NPM) dimana orientasi birokrasi yang lebih demokratis dan fleksibel tergantung pada perkembangan masyarakat, adanya tingkat rasio yang tinggi, dan masyarakat mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam menerima pelayanan publik.
New Public Manajemen (NPM) dimana orientasi birokrasi yang lebih demokratis dan fleksibel tergantung pada perkembangan masyarakat, adanya tingkat rasio yang tinggi, dan masyarakat mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam menerima pelayanan publik.
Konteks kemunculan mewirausahakan
birokrasi berawal dari
1. Organ pemerintah yang gemuk dan
lamban, sehingga cenderung bersifat spending daripada mendatangkan profit dalam
wilayah fiskal.
2. Pelayanan publik yang tidak efektif
dan lambat, sehingga melahirkan ketidakpercayaan masyarakat pada kapasitas
pemerintah dalam menyelrnggarakan pelayanan publik.
Mewirausahakan
birokrasi menurut William Hudnut menyatakan bahwa :
Pemerintahan wirausaha bersedia
meninggalkan program lama. Ia bersifat inovatif, imajinatif dan kreatif, serta
berani mengambil resiko. Ia juga mengubah beberapa fungsi kota menjadi sarana
penghasil uang daripada menguras anggaran, menjauhkan diri dari alternatif
tradisional yang hanya memberikan sistem penopang hidup. Ia bekerja-sama dengan
sektor swasta, menggunakan pengertian bisnis yang mendalam, menswastakan diri,
mendirikan berbagai perusahaan yang menghasilkan laba. Ia berorientasi pasar,
memusatkan pada ukuran kinerja, memberi penghargaan pada jasa. Ia pun harus
mengatakan: mari kita selesaikan pekerjaan ini dan tidak takut untuk memimpikan
hal-hal besar.
2.2. Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah
Daerah Di Era Good Local Governance
Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah Daerah Di Era Good
Local Governance pertama kali disampaikan oleh David Osborne dan
Ted Gaebler dalam buku mereka yang berjudul Reinventing Government: How the enterpreneurial
spirit is transforming the public sektor. Buku tersebut ditulis sebagai
saran untuk membantu pencarian solusi di pemerintah Amerika Serikat pada tahun
1993 yang menanggung beban berat sebagai akibat ditanganinya seluruh kegiatan
atau kebutuhan negara oleh pemerintah federal. Meskipun disambut dengan sikap
skeptis, lambat namun pasti, apa yang disampaikan Osborne dan Gaebler dalam
buku tersebut ternyata membawa angin segar bagi pemerintah federal dalam
menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi pada saat itu.
Apa yang terjadi pada pemerintahan
Amerika Serikat pada saat itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi
Indonesia saat ini yang sedang mengawali era GLG dimana sebagian wewenang
pemerintah pusat didelegasikan pada pemerintahan di daerah. Di GLG, pejabat
negara (di daerah) harus kreatif, mandiri dan inovatif dalam melaksanakan
tugas-tugas kepemerintahannya karena inti dari otonomi daerah ialah keleluasaan
dan kebebasan lebih luas untuk menggali dan mengolah aset-aset alamiahnya.
Mereka akan lebih banyak bekerjasama langsung dan lebih luas dengan swasta. Hal
inilah yang menjadi cakupan dalam Reinventing Government yang sering disebut juga dengan Mewirausahakan Birokrasi.
Permasalahan yang sering muncul
dalam memahami reinventing government adalah adanya anggapan bahwa dengan
adanya konsep mewirausahakan birokrasi tersebut berarti kantor dinas/ instansi
di Pemerintahan Daerah (pemda) dituntut untuk “berbisnis” agar dapat memberi
nilai tambah untuk PAD. Padahal, maksud yang sebenarnya adalah memberdayakan
institusional. Bukan menciptakan “pengusaha” dalam lingkungan birokrasi
pemerintahan.
Menurut Osborne dan Gaebler,
mewirausahakan birokrasi berarti mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam
sektor publik. Di era otonomi daerah, dimana pemerintah di daerah dituntut
untuk bisa mandiri, usaha tersebut dapat diterapkan agar produktivitas dan
efisiensi kerja Pemda bisa dioptimalkan. Oleh karena itu, pemahaman atas
cara-cara mewirausahakan birokrasi Pemerintahan Daerah harus dikuasai oleh
aparat birokrasi, terlebih-lebih oleh Bupati/ Walikota termasuk pimpinan pada
tiap-tiap instansi / dinas.
Berkaitan dengan hal tersebut,
Osborne dan Gaebler mengemukakan sepuluh prinsip untuk mebentuk
birokrasi-wirausaha, yaitu:
1)
Pemerintah
sebagai pembuat kebijakan harus lebih menjadi pengarah daripada menjadi
pelaksana. Misalnya adalah bekerjasama dengan pihak swasta dalam melakukan
pemungutan pajak, akan tetapi penentuan Wajib Pajak dan besarnya pungutan pajak
tetap dilakukan oleh pemerintah.
2)
Pemerintah
sebagai milik masyarakat harus lebih memberdayakan masyarakat ketimbang
terus-menerus melayani masyarakat. Salah satu upayanya adalah dengan menghimbau
masyarakat agar mampu mengurus keamanan lingkungannya sendiri.
3)
Pemerintah
sebagai institusi yang berada di alam kompetisi haruslah menyuntikkan semangat
persaingan ke dalam tubuh aparat dan organisasi pelayanannya. Misalnya dengan
memberikan peluang bagi swasta dalam menangani urusan-urusan yang dimonopoli
pemerintah, seperti air minum, listrik, dan telepon.
4)
Unit-unit
pemerintahan sebagai lembaga yang bertugas mewujudkan misi harus lebih diberi
kebebasan dalam berkreasi dan berinovasi. Untuk itu, petunjuk pelaksanaan yang
kaku dan mengikat harus dihindarkan, baik mengenai keuangan, kepegawaian,
maupun pelayanan kepada masyarakat.
5)
Pemerintah
harus lebih mementingkan hasil yang akan dicapai daripada terlalu memfokuskan
pada faktor masukan (input). Misalnya, pemberian bantuan untuk suatu sekolah
haruslah lebih didasarkan kepada kinerja dan produktivitasnya daripada jumlah
muridnya.
6)
Pemerintah
sebagai pelayan masyarakat harus lebih mementingkan terpenuhinya kepuasan
pelanggan, bukannya memenuhi apa yang menjadi kemauan birokrasi itu sendiri.
Untuk itu, cara-cara baru dalam memikat pelanggan harus dilakukan.
7)
Pemerintah
sebagai suatu badan usaha harus pandai mencari uang dan tidak hanya bisa
membelanjakannya. Oleh karena itu, cara-cara mencari sumber penghasilan yang
baru dan menggalakkan investasi harus selalu menjadi pemikiran para manajer
pemerintahan.
8)
Pemerintah
sebagai lembaga yang memiliki daya antisipatif harus mampu mencegah daripada
hanya menanggulangi masalah. Misalnya soal kebakaran, dengan memakai prinsip
ini, bukan mobil pemadam kebakaran yang dibeli terus tetapi supervisi/
pengawasan terhadap bangunan yang harus ditingkatkan.
9)
Pemerintah
harus menggeser pola kerja hierarki yang dianut ke model kerja partisipasi dan
kerja sama. Misalnya, rantai organisasi yang panjang dan ‘gemuk’ harus
dikurangi, struktur organisasi yang tebal harus ditipiskan, dan gugus kendali
mutu harus dikembangkan.
10)
Pemerintah
sebagai pihak yang berorientasi pada pasar harus berusaha mengatrol perubahan
lewat penguasaannya terhadap mekanisme pasar. Misalnya, dalam menangani sampah
yang berasal dari botol minuman, daripada membiayai usaha daur ulang yang
mahal, lebih baik pemerintah mensyaratkan pengusaha minuman untuk membayar
setiap pembeli yang mengembalikan botolnya.
Berdasarkan kesepuluh cara tersebut di atas, tidak dapat
dihindari bahwa upaya mewirausahakan birokrasi akan berdampak pada
perubahan-perubahan (reformasi) dalam instansi Pemda. Perubahan yang dilakukan
adalah dalam rangka melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap mekanisme birokrasi-wirausaha
di setiap lapisan birokrasi. Perubahan tersebut dapat berupa debirokratisasi,
deregulasi, rekonstruksi pemerintahan daerah, reposisi instansi-instansi,
bahkan rasionalisasi pegawai. Dalam perkembangannya, upaya-upaya penyesuaian
tersebut harus dapat menjamin terciptanya produktivitas dan efisiensi kerja
Pemda yang maksimal.
Lebih meluas lagi, upaya mewirausahakan birokrasi Pemerintah
Daerah, disamping untuk mewujudkan pemerintahan yang mandiri, juga untuk
menunjang perubahan peran pemerintah dalam mengahdapi perkembangan masyarakat
yang semakin pesat di era Globalisasi. Ada beberapa faktor yang dapat
diidentifikasi atas perubahan peran pemerintah tersebut, yaitu:
·
Semakin
kompleksnya permasalahan-permasalahan di sektor publik sebagai akibat
berkembangnya teknologi dan informasi
·
Kenyataan
telah membuktikan bahwa monopoli yang dilakukan pemerintah tidak menghasilkan
pelayanan yang lebih baik dan adanya tuntutan menyangkut distribusi sumber daya
yang lebih baik ditentukan oleh mekanisme pasar
·
Mulai
turunnya kepercayaan atas peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah
di sektor publik
·
Akibat
kemajuan masyarakat, terjadi perubahan tuntutan agar pemerintah memberikan
pelayanan dengan lebih baik karena adanya perubahan nilai-nilai dalam
masyarakat
·
Ada fakta/
realita bahwa sektor swasta lebih baik dalam memberikan pelayanan daripada
sektor public
Permsalahan utama yang muncul dalam mewirausahakan birokrasi
di pemerintahan daerah pada dasarnya terletak pada instansi/ dinas Pemda itu
sendiri. Sejauh mana pelaku birokrasi dapat mengantisipasi perubahan-perubahan
yang terjadi baik di lingkungan organisasi internal maupun di masyarakat,
seberapa besar usaha pemerintah daerah untuk mentransformasikan semangat
wirausaha ke dalam sektor publik dan bagaimana mereka menyikapi
perubahan-perubahan yang terjadi merupakan langkah-langkah yang harus diambil
secara tepat.
Laju komunikasi, teknologi dan informasi yang berkembang
dengan cepat, meningkatnya tensi-tensi politik dan tuntutan orang terhadap
pelayanan yang baik adalah alasan yang sangat kuat untuk merubah birokrasi yang
lambat, lama dan berliku-liku menuju birokrasi yang cepat, efektif, efisien,
dan komprehensif. Disamping itu, upaya-upaya memandirikan dan meningkatkan
produktivitas Pemda juga menimbulkan munculnya jenis-jenis tugas baru dalam
pemerintahan daerah. Industrialisasi, perdagangan antar daerah, investasi asing
di daerah, pengelolaan bantuan luar negeri di daerah dan hal-hal baru yang
ditanggung pemda akibat adanya otonomi dari pusat mengharuskan pejabat-pejabat
(birokrat) di daerah bekerja dengan spirit wirausaha.
Pada saat ini, di era otonomi daerah, di era globalisasi, di
era good
local governance,
semangat wirausaha menjadi kebutuhan yang sangat diperlukan bagi setiap
aparatur pemerintahan, dari lapisan yang paling baah sampai di tingkat atas,
karena hampir setiap jenis organisasi berhubungan dengan kinerja yang inovatif
dan produktif. Sepuluh cara mewujudkan reinventing government yang disampaikan Osborne dan
Gaebler tersebut di atas secara praktis telah sukses dilakukan dan secara
teoritis relevan untuk ditransformasikan, perkembangan kehiduan sosial
masyarakat Indonesia pun telah mendukung ke arah tersebut. Jadi, tidak perlu
menunggu lama lagi untuk mewirausahakan birokrasi. Paling tidak usaha tersebut
bisa dilakukan mulai dari diri kita sendiri, mulai dari hal yang kecil dan
mulai dari saat ini.
2.3.
Upaya perubahan birokrasi dan
aparaturnya melalui ‘mewirausahakan birokrasi dan prinsip mewirausahakan
birokrasi yang telah berjalan di Indonesia ’.
Tulisan yang disadur dari pikiran David Osborne dan Ted
Gaebler dalam bukunyaberjudul ‘Reinventing
Government’ ini mencoba mencari jalan keluar terhadap permasalahan
birokrasi melalui penerapan
konsep kewirausahaan, baik terhadap sistem birokrasi itu sendiri maupun
terhadap aparaturnya. Gagasan ini mencoba memulai dari hal yang sangat
berdekatan dengan klaim bahwa birokrasi hanya sebagai pemborosan anggaran karena
tidak diikuti oleh pelayan publik yang baik dan tidak produktif.
Pemerintahan wirausaha bersedia meninggalkan program dan
metode lama. Ia bersifat inovatif,
produktif, efektif dan efisien, serta berani mengambil resiko. Sistem ini
mengoptimalkan aset-aset negara atau daerah sebagai pendapatan, bukan sebagai
penguras anggaran. Realitas harus memerintahkan dan menilai para pejabat negara
dan pejabat daerah dengan apakah mereka mampu bekerja lebih keras dan lebih
cerdas, serta menghasilkan pendapatan dengan anggaran yang kecil.
Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga
yang berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat
menjalankan produksi demi
keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan pemerintahan didorong oleh
keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi tanpa
memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang dilayaninya. Perusahaan
memperoleh income dari konsumennya, sedangkan pemerintah lebih besar memperoleh
income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya didorong oleh kompetisi,
sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh kepentingan.
Adapun di antara 10 prinsip mewira usahakan birokrasi menurut Osborne dan gealber yang dilaksanakan oleh pemerintahan di Indonesia antara lain
1. Pemerintahan milik rakyat (prinsip
ke 2 )
Dalam bahasa indonesia yaitu Pemerintahan sebagai milik masyarakat:
Pemberdayaan lebih baik daripada melayani. Maksudnya adalah dalam hal ini,
peran pemerintah adalah memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan berbagai
kebutuhan publik, sehingga tercipta rasa memiliki bagi mereka sendiri,
sedangkan pemerintah bukan lagi sebagai pelayan melainkan hanya sekedar memberi
petunjuk.
Beberapa hal yang mencakup bidang empowering
adalah pergeseran berbagai hak kepemilikan produk pelayanan publik dari tangan
pemerintah kepada masyarakat umum dimana peran pemerintah hanya sebagai
pengarah saja, kemudian pendirian perumahan umum yang lebih tertib, aman,
bersih, harga terjangkau serta pendataan yang lebih terorganisir.
Selain
itu berbagai hal yang dianggap penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik
adalah memperbaiki peran profesional service menjadi community
service, sehingga pelayanan bukan ditujukan hanya untuk klien saja tetapi
untuk semua, serta pemberdayaan segenap lapisan masyarakat melaui demokrasi
yang partisipatif
2. Pemerintahan yang kompetitif (Prinsip ke 3)
Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintahan yang kompetitif:
Menyuntikkan kompetisi kedalam pemberian pelayanan. Kompetisi yang dimaksud di
sini adalah kompetisi dimana sektor publik vs sektor publik, sektor privat vs
sektor publik, dan sektor privat vs sektor privat. Kondisi ini dipercaya akan
menciptakan suatu iklim persaingan yang pada akhirnya akan meningkatkan
kualitas dan berpengaruh pada harga pelayanan publik.
Berbagai keuntungan yang diperoleh dari kompetisi ini adalah tingkat
efisiensi yang lebih besar, pelayanan yang lebih mengarah pada kebutuhan
masyarakat, menciptakan sekaligus menghargai suatu inovasi, yang pada akhirnya
akan meningkatkan kebanggaan dan moralitas pegawai pemerintah.
3.
Pemerintah yang di gerakkan
oleh misi ( prinsip ke 4 )
Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintah yang digerakkan oleh Misi :
Transformasi yang digerakkan aturan. Maksudnya adalah pemerintahan akan
berjalan lebih efisien apabila digerakkan bukan atas dasar aturan saja, tetapi
lebih kepada ‘misi’, sehingga penganggaran yang dibutuhkan juga diarahkan pada
pencapaian misi sehingga lebih terkontol.
Berbagai keuntungan yang diperoleh dari mission-driven
government ini adalah lebih efisien, lebih efektif, lebih inovatif, dan
lebih fleksibel jika dibandingkan dengan ruled-driven organizations.
Dengan keadaan ini, maka diyakini bahwa moralitas sektor publik juga
serta-merta akan meningkat.
Kekuatan dari mission-driven government ini adalah
peningkatan insentif terhadap tabungan, menciptakan kebebasan sumber daya dalam
menguji ide-ide baru, mengacu pada autonomy managerial, menciptakan
lingkungan yang terprediksi, kemudian menyederhanakan proses budgeting,
serta mengurangi pengeluaran auditor dan kantor pajak, yang pada akhirnya fokus
pemerintah lebih leluasa terhadap isu-isu penting lainnya.
4.
Pemerintah desentralisasi (
Prinsip ke 9 )
Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintahan Desentralisasi : Dari
bersifat Hierarki menjadi Partisipatif dan Kerja Tim. Maksudnya adalah
pemerintah hendaknya tidak sentralis. Banyak bidang kebutuhan pelayanan publik
yang memungkinkan untuk didesentralisasikan penyelenggaraannya agar lebih
partisipatif dan efisien.
Keuntungan yang diperoleh adalah lebih fleksibel karena lebih cepat
merespon perubahan kebutuhan masyarakat, lebih efektif, lebih inovatif, serta
meningkatkan moralitas, komitmen dan produktifitas.
Kemudian, dengan adanya desentralsasi ini, maka partisipasi dari
pihak manajemen juga akan lebih meningkat dan lebih percaya diri, yang
selanjutnya akan menciptakan organisasi yang bekerja sebagai sebuah tim kerja,
sehingga inovasi dari bawah akan lebih deras mengalir. Pada akhirnya, kondisi
ini akan menciptakan invest in the employee, di mana pada suatu saat
bawahan tersebut akan memiliki kemampuan yang lebih apabila diberi kepercayaan
suatu tugas yang lebih berat atau jabatan yang lebih tinggi dikemudian hari.
5.
Pemerintah
berorientasi pasar ( Prinsip ke 10 )
Dalam bahasa Indonesia yaitu Pemerintah Perorientasi Pasar:
Mendongkrak Perubahan melalui mekanisme Pasar. Maksudnya adalah dalam
penyelenggaraan pelayanan, pemerintah hendaknya mengikuti situasi pasar, tidak
hanya berkutat pada program-program kerja yang monoton karena biasanya
diarahkan pada konstituen saja, berbau politik, tidak tepat sasaran,
terfragmentasi, serta bukan merupakan suatu tindakan korektif tetapi lebih
mengacu pada kondisi stagnan sebagai akibat dari minimnya perubahan
yang signifikan.
Cara merestrukturisasi pemerintahan menjadi berbasis mekanisme pasar
adalah melalui penyusunan produk hukum yang tegas terhadap mekanisme pasar,
penciptaan informasi terhadap masyarakat, mengutamakan permintaan dan kebutuhan
masyarakat, mengkatalisasi penyediaan oleh sektor swasta, yang kesemuanya ini
akan dikondisikan melalui suatu Market’s Institusi yang akan menekan
atau mengurangi gap pasar. Kemudian hal yang tidak kalah penting adalah
merekomendasikan sektor pasar yang baru, mengurangi risiko usaha, serta merubah
kebijakan Investasi Publik yang tidak mencekik leher.
Dalam kondisi ini, pemerintah hendaknya menjadi perantara antara
pembeli dan penjual melalui pengenaan pajak dan retribusi pada setiap aktivitas
usaha, serta penyediaan pelayanan atas dasar pembiayaan masyarakat. Hal ini
akan lebih mudah dicapai apabila dibentuk suatu Komunitas Pelayanan sehingga
lebih mudah dikontrol.
Pada dasarnya Entrepreneural (R)evolution terjadi akibat
adanya krisis, keresahan terhadap Leadership dan Keberlanjutan Leadership,
Peralatan Kesehatan, Visi dan Tujuan bersama, Kepercayaan, Model suri tauladan,
dan sumber daya luar. Namun penulis menyarankan agar dilakukan penguasaan
terhadap keseluruhan point penting dari tulisan ini yang digunakan
sebagai dasar pikir untuk melakukan suatu perubahan.
P E N U T U P
Kesimpulan
Mewirausahakan birokrasi merupakan
proses bagaimana menata dan mengolah birokrasi yang semula kaku menjadi
birokrasi yang professional, inovatif dan tidak menyeleweng.
Praktek mewirausahakan birokrasi
merupakan pola dalam mengubah tatanan birokrasi untuk menjadi lebih baik agar
birokrasi tidak terpengaruh oleh kebijakan kepentingan golongan, kultur dan
lain sebagainya. Perilaku mewirausahakan birokrasi juga dibutuhkan sikap
responsive dan akuntabel dari pemerintah atau birokrat itu sendiri terhadap
system dan pelayanan yang diterapkan. Sebagai masyarakat pun harus bertindak
proaktif dan responsive terhadap berbagai jenis kebiajakn agar senantiasa
mengawasi secara langsung dalam
pelayanan birokrasi tersebut. Pelaksanaan wirausaha birokrasi didasarkan pada
prinsip-prinsi mewirausahakan birokrasi.
Konteks mewirausahakan birokrasi ini
sendiri muncul dari adanya, .
1) Organ pemerintah yang gemuk dan
lamban, sehingga cenderung bersifat spending daripada mendatangkan profit dalam wilayah
fiskal.
2) Pelayanan publik yang tidak efektif
dan lambat, sehingga melahirkan
ketidakpercayaan masyarakat pada kapasitas pemerintah dalam
menyelenggarakan pelayanan publik.
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment