BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bangsa
Indonesia tersebar dari sabang sampai merauke, terdiri dari berbagai macam
agama, suku bangsa, budaya, dan ras. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia
disebut masyarakat majemuk atau multiculture. Kemajemukan masyarakat
dapat menimbulkan konflik sosial, tetapi jika berjalan secara selaras, serasi,
dan harmonis akan tercipta integrasi
social. Indonesia dikenal dengan kemajemukan masyarakat, baik dari sisi
etnisitas maupun budaya serta agama dan kepercayaannya.
Kemajemukan
juga menjangkau pada tingkat kesejahteraan ekonomi, pandangan politik serta
kewilayahan, yang semua itu sesungguhnya memiliki arti dan peran strategis bagi
masyarakat Indonesia. Meski demikian, secara bersamaan kemajemukan masyarakat
itu juga bersifat dilematis dalam kerangka penggalian, pengelolaan, serta
pengembangan potensi bagi bangsa Indonesia untuk menapaki jenjang masa
depannya. Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat berpotensi membantu bangsa
Indonesia untuk maju dan berkembang bersama.
B. Rumusan
Masalah
Dalam
penyusunan makalah ini rumusan masalah kami sebagai berikut:
1. Apa
pengertian dari masyarakat majemuk ?
2. Bagaimana
jenis masyarakat majemuk ?
3. Bagaimana
struktur masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk ?
4. Bagaimana
karakteristik masyarakat majemuk ?
5. Bagaimana
kemajemukan masyarakat di Indonesia ?
6. Bagaimana
pengaruh kemajemukan masyarakat Indonesia ?
C. Tujuan
Dalam
pembuatan makalah ini bertujuan untuk :
1. Untuk
mengetahui apa itu masyarakat majemuk.
2. Untuk
mengetahui apa saja jenis masyarakat majemuk itu sendiri.
3. Untuk
mengetahui bagaimana struktur masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk.
4. Untuk
bagaimana kita memahami karakteristik masyarakat majemuk.
5. Untuk
mengetahui tentang kemajemukan masyarakat di Indonesia.
6. Untuk
mengetahui apa saja dampak dari pengaruh kemajemukan masyarakat di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Masyarakat Majemuk
Konsep masyarakat majemuk pertama kali diperkenalkan
oleh J.S. Furnivall (1948). Furnivall merumuskan konsep masyarakat majemuk yang
berasal dari temuan hasil penelitiannya di Indonesia. Menurutnya masyarakat
Indonesia terbagi atas tiga lapisan:
1.
Bangsa-bangsa Eropa menempati urutan
teratas dalam stratifikasi masyarakat.
2.
Bangsa-bangsa Asia (Cina, Arab, dan India)
berada diurutan berikutnya; dan lapisan terbawah diduduki oleh
3.
Kaum pribumi
Konsep masyarakat majemuk yang dirumuskan oleh
Furnivall tersebut merujuk pada pengertian sebuah masyarakat yang terdiri dari
dua atau lebih elemen yang hidup sendiri sendiri tanpa adanya pembauran
satu sama lain dalam kesatuan politik. Perlu dipahami bahwa penelusuran konsep
masyarakat majemuk Furnivall berlangsung saat masa penjajahan yang melanda
Indonesia.
Wajar apabila elemen-elemen di atas tidak menunjukkan
adanya pembauran satu sama lain dan pula wajar bila pribumi berada di lapisan
paling bawah karena kaum pribumi adalah kaum terjajah. Kaum terjajah dapat
dikatakan tidak memiliki hak-hak lebih ketimbang sebagai pelayan kaum penjajah.
Dugaan bahwa penempatan kaum pribumi sebagai lapisan terbawah bisa jadi sebagai
justifikasi pihak kolonial untuk melanjutkan penjajahan.
Dugaan ini juga boleh jadi dikarenakan Furnivall
adalah seorang berkewarganegaraan Belanda yang ditugaskan untuk menyusun data
mengenai masyarakat Indonesia. Masyarakat majemuk menurut Furnivall yaitu suatu
masyarakat dimana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang
menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga para anggota
masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan,
kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar
untuk saling memahami satu sama lain.
Pendapat dari beberapa ahli tentang pengertian
masyarakat multikultural yaitu:
1. Clifford
Geertz
menyatakan
bawah masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terbagi ke dalam
subsistem-subsistem yang lebih kurang berdiri dan masing-masing subsistem
terikat oleh ikatan-ikatan primordial.
2. J.Nasikun
menyatakan
bahwa suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara
struktural memiliki subkebudayaan-subkebudayaan yang bersifat deverse yang di
tandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh
anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial, serta
sering munculnya konflik-konflik sosial.
B.
Jenis
Masyarakat Majemuk
Menurut konfigurasi dari komunitas
etnisnya, masyarakat majemuk dapat dibedakan menjadi empat katagori sebagai
berikut :
1. Masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang, yaitu
masyarakat majemuk yang terdiri atas sejumlah komunitas atau kelompok etnis
yang memiliki kekuatan kompetitif seimbang.
2. Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, yaitu
masyarakat majemuk yang terdiri atas sejumlah komunitas atau kelompok etnis
yang kekuatan kompetitip tidak seimbang.
3. Masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, yaitu
masyarakat yang antara komunitas atau kelompok etnisnya terdapat kelompok
minoritas, tetapi mempunyai kekuatan kompetitif di atas
yang lain, sehingga mendominasi politik dan ekonomi.
4. Masyarakat majemuk dengan fragmentasi, yaitu
masyarakat yang terdiri atas sejumlah besar komunitas atau kelompok etnis, dan
tidak ada satu kelompok pun yang mempunyai posisi politik atau ekonomi yang
dominan.
C.
Struktur
Masyarakat Sebagai Masyarakat Majemuk
Struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik.
1. Horizontal
Ditandai
oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan social berdasarkan perbedaan
suku-bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.
2. Vertical
Strktur
masyarakat Indonesia ditandai adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup dalam.
Perbedaan-perbedaan sukubangsa,
agama, adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri masyarakat
Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula dikenalkan oleh
Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda.
Konsep masyarakat majemuk sebagaimana yang digunakan oleh ahli-ahli ilmu
kemasyarakatan dewasa ini memang merupakan perluasan dari konsep Furnivall
tersebut.
Masyarakat Indonesia pada masa
Hindia Belanda, demikianlah menurut Furnivall, merupakan suatu masyarakat
majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau
lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di
dalam kesatuan politik (JS Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural
Economy, Cambridge at The University Press, 1967, halaman 446-469).
D.
Karakteristik
Masyarakat Majemuk
Pierre van de
Berghe, mengemukakan beberapa karakteristik masyarakat
majemuk sebagai berikut :
1. Terjadinya
segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang mempunyai kebudayaan, tepatnya
subkebudayaan yang berbeda satu dengan lainnya
2. Memiliki
struktur sosial yang terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.
3. Kurang
mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai
sosial yang bersifat dasar.
4. Secara
relatif, sering terjadi konflik antarkelompok.
5. Secara
relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan
ketergantungan ekonomi.
6. Adanya
dominasi oleh suatu kelompok terhadap kelompok-kelompok lain.
E.
Kemajemukan
Masyarakat di Indonesia
Istilah
Masyarakat Indonesia Majemuk pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall dalam
bukunya Netherlands India: A Study of Plural Economy (1967), untuk
menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman
ras dan etnis sehingga sulit bersatu dalam satu kesatuan sosial politik.
Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang
unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal.
Faktor
yang menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
a) Keadaan
geografi Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari lima
pulau besar dan lebih dari 13.000 pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan
penduduk yang menempati satu pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi
kesatuan suku bangsa, dimana setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku
jenis tersendiri.
b) Letak
Indonesia diantara Samudra Hindia
dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia dan Australia, maka Indonesia
berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan. Hal ini mempengaruhi
terciptanya pluralitas/kemajemujkan agama.
c) Iklim
yang berbeda serta struktur tanah di berbagai daerah kepulauan Nusantara ini
merupakan faktor yang menciptakan kemajemukan regional. Seperti yang telah
dijelaskan bahwa kemajemukan Indonesia tampak pada perbedaan warga maryarakat
secara horizontal yang terdiri atas berbagai ras, suku bangsa, agama, adat dan
perbedaan-berbedaan kedaerahan.
Menurut
Robertson (1977), ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri
warna kulit dan fisik tubuh tertentu yang diturunkan secara turun temurun.Untuk itu ras yang hidup di Indonesia
antara lain Ras Melayu Mongoloid, Weddoid dan sebagainya. Sedangkan untuk suku
bangsa / etnis yang tersebar di Indonesia sangatlah beraneragam dan menurut
Hildred Geertz di Indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa, dimana
masing-masing memiliki bahasa dan identitas kebudayaan yang berbeda.
Dalam
kemajemukan agama di Indonesia secara umum agama yang berkembang di Indonesia
adalah Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha. Selain itu terdapat
agama-agama lain seperti Kong Hu Chu, Kaharingan di Kalimantan, Sunda Kawitan
(suku Baduy) serta aliran kepercayaan.
Dengan
demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan
warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk
senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan
yang indah yang diwujudkan melalui integrasi.
F.
Pengaruh
Kemajemukan di Indonesia
Pengaruh
kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan suku bangsa,ras dan agama dapat
dibagi atas pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah terdapat
keanekaragaman budaya yang terjalin serasi dan harmonis sehingga terwujud
integrasi bangsa. Pengaruh negatifnya antara lain :
a. Primordial
Karena
adanya sikap primordial kebudayaan daerah, agama dan kebiasaan di masa lalu
tetap bertahan sampai kini. Sikap primordial yang berlebihan disebut
etnosentris. Jika sikap ini mewarnai interaksi di masyarakat maka akan timbul
konflik, karena setiap anggota masyarakat akan mengukur keadaan atau situasi
berdasarkan nilai dan norma kelompoknya. Sikap ini menghambat tejadinya
integrasi sosial atau integrasi bangsa. Primordialisme harus diimbangi tenggang
rasa dan toleransi.
b. Stereotip
Etnik
Interaksi
sosial dalam masyarakat majemuk sering diwarnai dengan stereotip etnik yaitu
pandangan (image) umum suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain
(Horton & Hunt). Cara pandang stereotip diterapkan tanpa pandang bulu
terhadap semua anggota kelompok etnis yang distereotipkan, tanpa memperhatikan
adanya perbedaan yang bersifat individual. Stereotip etnis disalah tafsirkan
dengan menguniversalkan beberapa ciri khusus dari beberapa anggota kelompok
etnis kepada ciri khusus seluruh anggota etnis. Dengan adanya beberapa orang
dari sukubangsa A yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal
rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A
berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang
paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru
karena tidak semua orang dari sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan
tinggi, banyak orang dari luar sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika
interaksi sosial diwarnai stereotip negatip, akan terjadi disintegrasi sosial.
Orang akan memberlakukan anggota kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip
tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus
menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang mempengaruhi sikap
seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan dengan kelompok lain,
wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.
c. Potensi
Konflik
Ciri
utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnifall (1940) adalah
kehidupan masyarakatnya berkelompok-kelompok yang berdampingan secara fisik,
tetapi mereka (secara essensi) terpisahkan oleh perbedaan-perbedaan identitas
sosial yang melekat pada diri mereka masing-masing serta tidak tergabungnya
mereka dalam satu unit politik tertentu.
Mungkin
pendekatan yang relevan untuk melihat persoalan masyarakat majemuk ini adalah
bahwa perbedaan kebudayaan atau agama memang potensial untuk mendestabilkan
negara-bangsa. Karena memang terdapat perbedaan dalam orientasi dan cara
memandang kehidupan ini, sistem nilai yang tidak sama, dan agama yang dianut
masing-masing juga berlainan. Perbedaan di dalam dirinya melekat (inherent)
potensi pertentangan, suatu konflik yang tersembunyi (covert conflict).
Namun
demikian, potensi itu tidak akan manifes untuk menjadi konflik terbuka bila
faktor-faktor lain tidak ikut memicunya. Dan dalam konteks persoalan itu
nampaknya faktor ekonomi dan politik sangat signifikan dalam mendorong
termanifestasinya konflik yang tadinya tersembunyi menjadi terbuka. Furnivall
sendiri sudah mensinyalir bahwa konflik pada masyarakat majemuk Indonesia
menemukan sifatnya yang sangat tajam, karena di samping berbeda secara
horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal, menunjukkan
adanya polarisasi.
Artinya
bahwa disamping terdiferensiasi secara kelompok etnik agama dan ras juga ada
ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Ada
ras, etnik, atau penganut agama tertentu yang akses dan kontrolnya pada
sumber-sumber daya ekonomi lebih besar, sementara kelompok yang lainnya sangat
kurang. Kemudian juga, akses dan kontrol pada sektor politik yang bisa dijadikan
instrumen untuk pemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, juga tidak
menunjukkan adanya kesamaan bagi semua kelompok. Di Kalimantan Barat dan Tengah
para perantau Madura yang beragama Islam setahap demi setahap bisa menguasai
jaringan produksi dan distribusi ekonomi.
Demikian
pula dengan orang-orang Bugis-Makassar dan Buton yang umumnya beragama Islam di
kawasan Timur Indonesia telah membuat jaringan yang cukup luas dalam sektor
ekonomi ini. Termasuk dalam kasus ini adalah orang-orang Cina yang sebagian
besar beragama non-Islam yang menguasai sebagian besar sarana dan aset produksi
serta jaringan distribusi di kota-kota besar dan menengah Indonesia. Ketika
Orde Baru memegang tampuk pemerintahan tampaknya ketimpangan ekonomi dan
politik antar kelompok etnik dan ras ini tidak secara sungguh-sungguh dicoba
untuk dihapuskan. Malah pemihakan pada kelompok tertentu sangat kentara,
sementara kelompok yang lain mengalami proses marjinalisasi. Di sinilah
polarisasi antar kelompok masyarakat yang berbeda secara kultural dan agama itu
menjadi semakin tajam. Di samping itu, pemerintah dan masyarakat di daerah
secara politik betul-betul lemah, tidak memiliki saluran institusional yang
memungkinkan kepentingan dan kebutuhan mereka dapat diakomodasi. Di sini
sentralisme adalah ciri utama sistem politik negara Orde Baru.
Memang
selama rezim Orde Baru berkuasa konflik itu tidak banyak muncul, kalaupun
terjadi ledakannya tidak besar dan akan segera diredam secara represif. Namun
pendekatan keamanan itu tidak menghilangkan potensi konflik tersebut, karena
akar persoalannya tidak dipecahkan. Hubungan antar kelompok tetap dalam situasi
ketegangan, menunggu momen untuk meledak. Karena itu, ketika rezim Orde Baru
mulai kehilangan legitimasi dan kemudian jatuh, konflik yang tadinya laten
menjadi terbuka.
Hal
ini dikarenakan, bahwa pengkotakan masyarakat hanya mampu menekan eskalasi
konflik dan disharmoni sosial dalam masyarakat, namun ia tidak mampu
menghilangkan poensi-potensi konflik yang telah lama dan masih terpendam dalam
masyarakat. Konflik dan disharmoni sosial dapat muncul karena mereka,
kelompok-kelompok sosial tersebut tetap hidup berdampingan secara fisik dalam
suatu komunitas masyarakat. Pembenaran atas ketidaksamaan, pada hakekatnya
adalah juga sebentuk pembenaran terhadap adanya potensi potensi konflik dalam
masyarakat yang pluralis.
DAFTAR PUSTAKA
http://ilmiinfo.wordpress.com/sosiologi-kemajemukan-dalam-masyarakat/
No comments:
Post a Comment