BAB II
PEMBAHASAN
a. Konflik Sosial
Konflik
berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik, dalam
kamus besar Bahasa Indonesia (2002) diartikan sebagai percekcokan,
perselisihan, dan pertentangan. Menurut Kartono & Gulo (1987), konflik
berarti ketidaksepakatan dalam satu pendapat emosi dan tindakan dengan orang
lain. Konflik biasanya diberi pengertian sebagai satu bentuk perbedaan atau
pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan di antara dua pihak atau
lebih.
Konflik
sosial adalah pertentangan perselisihan maupun percekcokan yang terjadi di
masyarakat.
Menurut Lewis A. Coser, Konflik
sosial adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan
berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya
terbatas. Pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk
memperoleh sumber-sumber yang diinginkan, tetapi juga memojokkan, merugikan
atau menghancurkan lawan mereka.
Menurut
Leopold von Wiese, Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana orang
perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi
tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan/atau
kekerasan.
Menurut
Duane Ruth-Heffelbower, Konflik sosial adalah kondisi yang terjadi ketika dua
pihak atau lebih menganggap ada perbedaan ‘posisi’ yang tidak selaras, tidak
cukup sumber, dan/atau tindakan salah satu pihak menghalangi, mencampuri atau
dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil.
Para
penganut pendekatan konflik dengan penuh keyakinan menganggap bahwa konflik
merupakan gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat di dalam kehidupan
setiap masyarakat, dan oleh karenanya tidak mungkin dilenyapkan. Sebagai gejala
kemasyarakatan yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, ia hanya akan
lenyap bersama lenyapnya masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, apa yang
dapat dilakukan orang hanyalah mengendalikan agar konflik yang terjadi di
antara berbagai kekuatan sosial yang saling berlawanan tidak akan terwujud di
dalam bentuk kekerasan.
·
Ciri-ciri
model konflik :
- Setiap
masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan sehingga perubahan sosial
ada dimana-mana.
- Setiap
masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik. Sehingga konflik
sosial ada di mana-mana.
- Setiap
elemen dalam masyarakat menyumbang pada desintegrasi dan perubahan.
Ada pakar sosiologi yang berpendapat bahwasannya
konflik yang terjadi dalam suatu masyarakat tidak perlu ditakuti, tidak perlu
dianggap sesuatu yang bersifat patologis. Malah konflik mempunyai fungsi yang
sangat penting bagi masyarakat dalam proses perubahan sosial. Pendapat
bahwasannya konflik mempunyai fungsi penting dalam masyarakat, dikemukakan oleh
Lewis Coser, yaitu sebagai berikut :
a. konflik adalah bentuk interaksi
b. konflik dapat merupakan cara atau alat untuk
mempertahankan, mempersatukan, mempertegas system sosial yang ada.
c. dengan adanya konflik, dalam setiap masyarakat
seringkali berkembang satu atau beberapa mekanisme untuk meredakan ketegangan
yang ada, sehingga srtuktur masyarakat sebagai keseluruhan tidak terancam.
Sementara
itu, menurut Himes (Schaefer & Lamm, 1998), konflik memiliki fungsi sebagai
berikut:
a.
Secara struktural, konflik dapat mengubah keseimbangan kekuasaan antara
kelompok dominan dan kelompok minoritas.
b.
Dari sisi komunikasi, konflik meningkatkan perhatian masyarakat terhadap hal
yang dipersengketakan dalam konflik, meningkatkan kesediaan media massa untuk
memberitakannya, memungkinkan masyarakat memperoleh informasi baru, dan
mengubah pola komunikasi berkenaan dengan hal tersebut.
c.
Dari sisi solidaritas, konflik akan meningkatkan dan memantapkan solidaritas di
antara kelompok minoritas.
d.
Dari sisi identitas, konflik akan menumbuhkan kesadaran mengenai siapa mereka
dan mempertegas batas-batas kelompok.
b. Konflik sosial di
indonesia
Indonesia terdiri atas beragam pulau, suku, bangsa agama, dan daerah
yang berbeda-beda. Perbedaan suku, bangsa agama, dan
daerah danpelapisan sosial yang saling silang-menyilang satu sama lain
menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat silang-menyilang pula
yang menyebabkan konflik antar golongan di indonesia.
Beberapa
contoh konflik sosial di indonesia antara lain :
1.
Kerusuhan antar-etnik di
Kupang
Kerusuhan di
kupang pada 30 November 1998 merupakan kerusuhan yang disebabkan oleh masalah
tergesernya sumber ekonomi penduduk local oleh para pendatang, yang dipengaruhi
pula oleh konflik agama dan politik. Pergeseran ini juga menimbulkan sejumlah
masalah lainnya dalam hubungan antara penduduk asli dan pendatang. Pemicu atau
penyulut yang menyebabkan kerusuhan terjadi di kupang ini antara lain, acara
perkabungan yang berubah menjadi anarkhi masa dan kerusuhan, selain itu,
isu-isu pembakaran gereja dan masjid (provokator), dan kerusuhan ketapang yang
menyebar ke kupang dengan isu-isu yang menyesatkan. Acara perkabungan yang
diselenggarakan oleh GEMA KRISTI di NTT, berubah menjadi kerusuhan, ketika
isu-isu gelap terjadi dalam suasana ketegangan sosial di Kupang yang sudah
memuncak. Isu tersebut adalah adanya berita yang menyebar luas bahwa Gereja
Katedral Agung Kupang dibakar oleh massa muslim, sebaliknya kelompok islam
menerima kabar bahwa Masjid at-Taqwa (masjid tertua di kupang) di bakar oleh
massa nasrani. Akibat itu semua, terjadilah saling menyerang diantara kedua
elompok yang berbeda.
2.
Kerusuhan antar-etnik di
Mataram
Sumber masalah
kerusuhan di Mataram dan sekitarnya pada 17 januari 2000, disebabkan oleh
provokasi dari para elite politik tertentu yang menyebabkan terjadinya
kerusuhan di wilayah tersebut. Selain itu, kerusuhan di mataram juga sebagai
dampak fanatisme agama oleh pemeluknya (terutama islam di Mataram) berhadapan
dengan agresivitas agama Kristen, yang sering memicu konflik berdimensi agama.
Secara terbuka, sebenarnya konflik berdimensi agama terjadi antara pemeluk
islam dan hindu, tetapi dalam kehidupan sehari-hari di Mataram pemeluk agama
hindu mampu mengemas pola penyebaran agama hindu secara rapi, dan tidak
mencolok sehingga tidak menimbulkan reaksi yang berlebihan dari pihak
mayoritas.
3.
Kerusuhan antar-etnik di Sambas (Kalimantan Barat)
Kerusuhan antar-etnik yang
berlangsung di Kalimantan barat bersumber dari adanya rivalitas (dalam arti
pertentangan dan konflik) antaretnik yang berlangsung sejak lama. Kerusuhan
antaretnik ini telah berlangsung beberapa kali semenjak 1950-an khususnya
pertikaian antar suku Madura melawan dayak yang nyaris tiada berkesudahan.
Kekerasan fisik yang menimpa suku melayu
yang menumpuk semacam dendam di dalam sekam,tindak kekerasan dilakukan
oleh dan terhadap suku-suku yang
berlainan diidentifikasi kemungkinan adanya factor provokator yang turut
menyulut dan memperluas skala konflik.
4.
Kerusuhan antar-etnik
Tiongkok (china) Makassar
pada
mulanya orang-orang Tionghoa di Makassar. Mereka hidup rukun dengan orang-orang pribumi
Makassar-Bugis. Namun setelah malapetaka G30S pada tahun 1965 terjadi, maka kenangan
kerukunan dan kedamaian menjadi sirna ditelan nafsu angkara manusia. Mereka
seakan kembali dari zaman kegelapan, mereka menggunakan lagi prinsip jaman
jahiliah sikanre jukuki tauwwa (manusia bagaikan binatang yang saling
memangsa), seperti yang pernah terjadi di kerajaan-kerajaan lokal Sulawesi
Selatan sebelum kedatangan sang Ratu Adil Tumanurung Bainea ri Takabassia.
Orang-orang dari etnis Tionghoa
diganyang, dilempari, dibunuh, diteror, dibakar dan diperkosa, karena hal-hal
yang bersifat sepele. Pada tahun 1965, orang-orang dari etnis Tionghoa
diganyang karena kampanye-kampaye sadis pemerintahan Orde Baru yang memberika
statement bahwa orang-orang Tionghoa itu identik dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Sejak saat itu pemerintah melegalkan suatu budaya amuk atau
pengganyangan serta megeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengebiri hak-hak
etnis Tionghoa.
pada tahun
1980. Etnis Tionghoa kembali di ganyang, disebabkan karena seorang Laki-laki
yang kebetulan berasal dari etnis Tionghoa menghamili Pembantunya, seorang
gadis dari Toraja, gadis ini kemudian meminta pertanggung jawaban dari tuannya,
ia ingin dinikahi. Tapi tuannya ini salah satu pemilik tokoh LA, toko yang
terbesar di Makassar waktu itu, malah membunuh dengan sadis pembantunya
tersebut. Akibatnya warga pribumi mengamuk mengganyang etnis Tionghoa, ribuan
bangunan ludes dilalap api, ratusan kendaraan bermotor pun demikian dan puluhan
nyawa melayang.pada tahun 1997, pada penghujung Orde Baru, orang-orang dari
Etnis Tionghoa kembali diganyang, penyebabnya karena seorang yang kelainan jiwa
yang kebetulan beretnis Tionghoa, dengan kalap menebas seorang anak kecil yang
berumur 9 tahun sampai mati Kebetulan yang dibunuh ini adalah anak dari staf
IAIN Alauddin (sekarang UIN Alauddin). Akibatnya Makassar kembali lumpuh dan
menelan banyak korban. Itulah ketiga letupan besar yang pernah terjadi dan
masih banyak lagi letupan-letupan kecil yang pernah terjadi.
5. Kerusuhan Mei
1998
Kerusuhan Mei 1998
adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia
pada 13 Mei-15 Mei
1998,
khususnya di Ibu Kota Jakarta
namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia
dan dipicu oleh tragedi Trisakti
di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti
ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan
dihancurkan oleh amuk massa terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa.
Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta,
Medan dan Surakarta.
Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa
yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut.
Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian
dibunuh.
Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia
keturunan Tionghoa
yang meninggalkan Indonesia.
Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan,
bernama Ita Martadinata Haryono,
yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan
dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan
dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.Sampai
bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun
terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret
tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, namun pernyataan
ini dibantah oleh banyak pihak.Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi
ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya masyarakat
Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah
lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak
Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap
orang Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini
merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau
perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat.
c.
Penyebab terjadinya konflik sosial
menurut
teori konflik, penyebab utama terjadinya konflik sosial adalah adanya perbedaan
atau ketimpangan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat yang memunculkan
diferensiasi kepentingan. Secara lebih rinci, faktor-faktor penyebab konflik
menurut teori ini adalah sebagai berikut:
• Ketidakmerataan distribusi sumber-sumber daya yang terbatas dalam masyarakat.
• Ditariknya kembali legitimasi penguasa politik oleh masyarakat kelas bawah.
• Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara untuk mewujudkan kepentingan.
• Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas bawah serta lambatnya mobilitas sosial ke atas.
• Melemahnya kekuasaan negara yang disertai dengan mobilisasi masyarakat bawah dan/atau elit.
• Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideologi radikal.
Ø Menurut
pandangan pendekatan konflik, konflik berpangkal pada anggapan-anggapan dasar
berikut:
1. Setiap
masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah
berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala-gejala
yang melekat di dalam setiap masyarakat.
2. Setiap
masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya atau dengan perkataan
lain, konflik adalah merupakan gejala-gejala yang melekat di dalam setiap
masyarakat.
3. Setiap unsure
di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan
perubahan-perubahan sosial.
4. Setiap
masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang
atas sejumlah orang yang lain.
Hal
lain yang ditengarai menjadi sumber konflik adalah “perbedaan kepentingan”
antara kelompoj-kelompok yang ada, antara elit dan masyarakat umum, disamping
adanya struktur kekuasaan dan otoritas yang mewarnai masyarakat bersangkutan.
d.
Akibat yang ditimbulkan dari masalah konflik sosial
Dampak
Negatif :
•
Konflik menimbulkan prasangka antar pihak yang berkonflik
•
Mengakibatkan kehilangan harta benda sampai dengan nyawa orang
•
Renggangnya hubungan yang semula
berjalan lancar.
Dampak
Positif :
•
Meningkatkan solidaritas kelompok (In Group Solidarity)
Sebuah
kelompok memiliki pihak lain yang diidentifikasikan sebagai musuh bersama.
Dengan ini setiap anggota kelomok tersebut akan bekerja sama untuk
menyingkirkan pihak yang diidentifikasikan sebagai musuh bersama tadi.
Contohnya, pada tahun 1998 Orde Baru merupakan musuh bersama para mahasiswa
yang menginginkan adanya reformasi. Mereka bersatu dalam kelompok angkatan ’98
yang berusaha melengserkan Soeharto dari jabatan Presiden.
•
Menciptakan Integrasi yang
harmonis
Integrasi
yang dimaksud adalah yang terjadi setelah konflik berakhir. Contohnya seperti
konflik di Aceh antara GAM dengan Republik Indonesia. Pihak Gerakan Aceh
Merdeka ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia. Konflik pun terjadi
bertahun-tahun tanpa adanya kesepakatan damai. Baru setelah Aceh dilanda
tsunami, tercapai kesepakatan damai antara RI dan GAM. Akhirnya GAM memutuskan
untuk kembali menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
• Memperkuat identitas pihak yang
berkonflik
Dengan
adanya konflik, pihak-pihak yang terlibat semakin memahami identitasnya, baik
sebagai individu maupun sbagai anggota dari sebuah kelompok. Ketika terjadi
perbedaan pandangan perihal pelaksanaan proklamasi, mereka yang berusia muda
mengidentifikasikan diri sebagai kelompok muda yang menginginkan kemerdekaan
diproklamasikan secepatnya dan tanpa bantuan dari Jepang.
• Menciptakan kelompok baru
Ketika
terjadi perang Dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet berdiri sebuah
kelompok yang bertekad tidak mau terlibat dalam pertikaian dua Negara tersebut.
Kelompok ini lah yang menjadi Gerakan Non-Blok. Dalam hal ini, konflik yang
terjadi malah mengakibatkan munculnya kelompok baru.
• Membawa Wawasan
Konflik
juga bisa membawa wawasan kedua belah pihak yang betikai. Contohnya pemboman
Hiroshima dan Nagasaki telah membuka mata pihak yang bertikai bahkan dunia
internasional akan bahaya bom atom.
e.
Solusi masalah konflik sosial
Bentuk pengendalian
konflik sosial yang paling prnting adalah konsoliasi yaitu suatu bentuk
pengendalian sosial yang terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang
memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan diantara
pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka
pertengkarkan. Lembaga-lembaga yang terwujud itu paling tidak harus memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
v Lembaga-lemabaga
tersebut harus merupakan lembaga-lembaga yang bersifat otonom dengan wewenang
untuk mengambil keputusan tanpa campur tangan dari badan-badan lain yang ada di
luarnya.
v Kedudukan
lembaga-lembaga tersebut di dalam masyarakat yang bersangkutan harus bersifat
monopolistis, dalam arti hanya lembaga-lembaga itulah yang berfungsi demikian.
v Peranan
lembaga lembaga tersebut haruslah sedemikian rupa sehingga berbagai kelompok
kepentingan yang berlawanan satu sama lain itu merasa terikat kepada
lembaga-lembaga tersebut beserta dengan para anggotanya.
v Lembga-lembaga
tersebut harus bersifat demokratis, yakni setiap pihak harus didengarkan dan
diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat-pendapatnya sebelum
keputusan-keputusan tertentu diambil.
Schuyt (1981 : 55) membedakan beberapa
kategori penyelesaian konflik, antara lain :
1. penyelesaian konflik melalui
musyawarah, melalui perundingan, dan hal yang mewarnai situasi ini ialah bahwa
keadaan pihak berada dalam kesetaraan satu dengan yang lainnya.
2. Penyelesaian konflik secara yudiris
yaitu, kita dapat mengarahkan pemikiran pada upaya penengahan, perdamaian, atau
pengajuan suatu pengaduhan kepada komisi khusus pengaduan. Kategori
penyelesaian ini ditandai oleh keadaan bahwa bantuan (orang atau instansi)
diikutsertakan dalam konflik tersebut.
3. Penyelesaian konflik yuridis
kehakiman, yaitu penyelesaian konflik dengan adanya campur tangan dari seorang
hakim yang terlaksana atas permohonan yang dilanda konflik.
4. Penyelesaian konflik administrasi
pemerintahan dan politik , yaitu para pihak yang terikat ketat pada
ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang dibuat oleh legislatif.
5. penyelesaian konflik dengan jalan
kekerasan dari Negara, yang mengerahkan kekuatan-kekuatan kepolisian dan
militer.
Tanpa
hadirnya keempat hal tersebut, maka konflik-konflik yang terjadi di antara
berbagai kekuatan sosial akan menyelinap ke bawah permukaan, yang pada saatnya
tanpa dapat
diduga sebelumnya akan meledak ke dalam bentuk
kekerasan. Namun demikian, semuanya itu hanya mungkin diselenggarakan apabila
kelompok-kelompok yang saling bertentangan itu sendiri mampu memenuhi tiga
macam prasyarat berikut :
1). Masing-masing kelompok yang terlihat
di dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka,
karena itu menyadari pula perlunya dilaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara
jujur bagi semua pihak.
2). Pengendalian konflik-konflik
tersebut hanya mungkin dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling
bertentangan itu terorganisir dengan jelas. Sejauh kekuatan-kekuatan sosial
yang saling bertentangan berada di dalam keadaan yang tidak terorganisir, maka
pengendalian atas konflik-konflik yang terjadi di antara mereka pun akan
merupakan suatu hal yang sulit dilakukan . sebaliknya konflik yang terjadi
diantara kelompok-kelompok yang terorganisir akan lebih mudah melembaga, dan
oleh karena itu akan lebih mudah dikendalikan pula.
3). Setiap kelompok yang terlibat di
dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan permainan tertentu, suatu hal yang
akan memungkinkan hubungan-hubungan sosial diantara mereka menemukan suatu pola
tertentu. Aturan-aturan permainan tersebut, pada gilirannya justru menjamin
kelangsungan hidup kelompok-kelompok itu sendiri, oleh karena dengan demikian
ketidakadilan akan dapat dihindarkan, memungkinkan tiap kelompok dapat
meramalkan tindakan-tindakan yang akan diambil oleh kelompok yang lain serta
menghindarkanmunculnya pihak ketiga yang akan merugikan kepentingan-kepentingan
mereka sendiri.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Konflik sosial adalah pertentangan
perselisihan maupun percekcokan yang terjadi di masyarakat. penyebab
utama terjadinya konflik sosial adalah adanya perbedaan atau ketimpangan
hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat yang memunculkan diferensiasi
kepentingan.
Semua lapisan
masyarakat di dunia pernah mengalami konflik. Secara teortis konflik sosial
sebenarnya membawa manfaat yang baik bagi masyarakat hanya saja cara dan
jalannya kebanyakan mengarah ke dampak negatif. Sehingga di masyarakat banyak
terjadi kerusuhan di mana-mana. Konflik sosial juga membawa dampak positif
walaupun pada kenyataannya yang terjadi dimasyarakat kebanyakan dampak negatif.
.
Saran
Sebaiknya kita sebagai bangsa dan negara yang
beragama dan juga bernegara hukum, seharusnya kita berusaha menghindari adanya
konflik sosial di antara masyarakat, agar Negara kita ini bisa menjadi Negara yang penuh dengan
kedamaian, kerukunan dan bebas dari segala jenis konflik dan pertentangan.
Daftar Pustaka
Nasikun.
1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Irewati
Awani. 2001. Kerusuhan Sosial di indonesia. Jakarta: PT. Grasindo.
Rijkschroeff,
B. R. 2001. Sosiologi Hukum dan Sosiologi Hukum. Bandung: CV. Mandar Maju
No comments:
Post a Comment