Friday, 16 December 2016

Konflik Sosial



BAB II
PEMBAHASAN

a. Konflik Sosial
           
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik, dalam kamus besar Bahasa Indonesia (2002) diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Menurut Kartono & Gulo (1987), konflik berarti ketidaksepakatan dalam satu pendapat emosi dan tindakan dengan orang lain. Konflik biasanya diberi pengertian sebagai satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih.
Konflik sosial adalah pertentangan perselisihan maupun percekcokan yang terjadi di masyarakat.
Menurut Lewis A. Coser, Konflik sosial adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya terbatas. Pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh sumber-sumber yang diinginkan, tetapi juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka.
Menurut Leopold von Wiese, Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan.
Menurut Duane Ruth-Heffelbower, Konflik sosial adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih menganggap ada perbedaan ‘posisi’ yang tidak selaras, tidak cukup sumber, dan/atau tindakan salah satu pihak menghalangi, mencampuri atau dalam beberapa hal membuat tujuan pihak lain kurang berhasil.
Para penganut pendekatan konflik dengan penuh keyakinan menganggap bahwa konflik merupakan gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, dan oleh karenanya tidak mungkin dilenyapkan. Sebagai gejala kemasyarakatan yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, ia hanya akan lenyap bersama lenyapnya masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, apa yang dapat dilakukan orang hanyalah mengendalikan agar konflik yang terjadi di antara berbagai kekuatan sosial yang saling berlawanan tidak akan terwujud di dalam bentuk kekerasan. 
·      Ciri-ciri model konflik :
-       Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan sehingga perubahan sosial ada dimana-mana.
-       Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik. Sehingga konflik sosial ada di mana-mana.
-       Setiap elemen dalam masyarakat menyumbang pada desintegrasi dan perubahan.
Ada pakar sosiologi yang berpendapat bahwasannya konflik yang terjadi dalam suatu masyarakat tidak perlu ditakuti, tidak perlu dianggap sesuatu yang bersifat patologis. Malah konflik mempunyai fungsi yang sangat penting bagi masyarakat dalam proses perubahan sosial. Pendapat bahwasannya konflik mempunyai fungsi penting dalam masyarakat, dikemukakan oleh Lewis Coser, yaitu sebagai berikut :
a. konflik adalah bentuk interaksi
b. konflik dapat merupakan cara atau alat untuk mempertahankan, mempersatukan, mempertegas system sosial yang ada.
c. dengan adanya konflik, dalam setiap masyarakat seringkali berkembang satu atau beberapa mekanisme untuk meredakan ketegangan yang ada, sehingga srtuktur masyarakat sebagai keseluruhan tidak terancam.
Sementara itu, menurut Himes (Schaefer & Lamm, 1998), konflik memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Secara struktural, konflik dapat mengubah keseimbangan kekuasaan antara kelompok dominan dan kelompok minoritas.
b. Dari sisi komunikasi, konflik meningkatkan perhatian masyarakat terhadap hal yang dipersengketakan dalam konflik, meningkatkan kesediaan media massa untuk memberitakannya, memungkinkan masyarakat memperoleh informasi baru, dan mengubah pola komunikasi berkenaan dengan hal tersebut.
c. Dari sisi solidaritas, konflik akan meningkatkan dan memantapkan solidaritas di antara kelompok minoritas.
d. Dari sisi identitas, konflik akan menumbuhkan kesadaran mengenai siapa mereka dan mempertegas batas-batas kelompok.
b. Konflik sosial di indonesia
Indonesia terdiri atas beragam pulau, suku, bangsa agama, dan daerah yang berbeda-beda. Perbedaan suku, bangsa agama, dan daerah danpelapisan sosial yang saling silang-menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat silang-menyilang pula yang menyebabkan konflik antar golongan di indonesia.
Beberapa contoh konflik sosial di indonesia antara lain :
1.      Kerusuhan antar-etnik di Kupang
Kerusuhan di kupang pada 30 November 1998 merupakan kerusuhan yang disebabkan oleh masalah tergesernya sumber ekonomi penduduk local oleh para pendatang, yang dipengaruhi pula oleh konflik agama dan politik. Pergeseran ini juga menimbulkan sejumlah masalah lainnya dalam hubungan antara penduduk asli dan pendatang. Pemicu atau penyulut yang menyebabkan kerusuhan terjadi di kupang ini antara lain, acara perkabungan yang berubah menjadi anarkhi masa dan kerusuhan, selain itu, isu-isu pembakaran gereja dan masjid (provokator), dan kerusuhan ketapang yang menyebar ke kupang dengan isu-isu yang menyesatkan. Acara perkabungan yang diselenggarakan oleh GEMA KRISTI di NTT, berubah menjadi kerusuhan, ketika isu-isu gelap terjadi dalam suasana ketegangan sosial di Kupang yang sudah memuncak. Isu tersebut adalah adanya berita yang menyebar luas bahwa Gereja Katedral Agung Kupang dibakar oleh massa muslim, sebaliknya kelompok islam menerima kabar bahwa Masjid at-Taqwa (masjid tertua di kupang) di bakar oleh massa nasrani. Akibat itu semua, terjadilah saling menyerang diantara kedua elompok yang berbeda.
2.      Kerusuhan antar-etnik di Mataram
Sumber masalah kerusuhan di Mataram dan sekitarnya pada 17 januari 2000, disebabkan oleh provokasi dari para elite politik tertentu yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di wilayah tersebut. Selain itu, kerusuhan di mataram juga sebagai dampak fanatisme agama oleh pemeluknya (terutama islam di Mataram) berhadapan dengan agresivitas agama Kristen, yang sering memicu konflik berdimensi agama. Secara terbuka, sebenarnya konflik berdimensi agama terjadi antara pemeluk islam dan hindu, tetapi dalam kehidupan sehari-hari di Mataram pemeluk agama hindu mampu mengemas pola penyebaran agama hindu secara rapi, dan tidak mencolok sehingga tidak menimbulkan reaksi yang berlebihan dari pihak mayoritas.
3.       Kerusuhan antar-etnik di Sambas (Kalimantan Barat)

Kerusuhan antar-etnik yang berlangsung di Kalimantan barat bersumber dari adanya rivalitas (dalam arti pertentangan dan konflik) antaretnik yang berlangsung sejak lama. Kerusuhan antaretnik ini telah berlangsung beberapa kali semenjak 1950-an khususnya pertikaian antar suku Madura melawan dayak yang nyaris tiada berkesudahan. Kekerasan fisik yang menimpa suku melayu  yang menumpuk semacam dendam di dalam sekam,tindak kekerasan dilakukan oleh dan terhadap suku-suku yang  berlainan diidentifikasi kemungkinan adanya factor provokator yang turut menyulut dan memperluas skala konflik.

4.      Kerusuhan antar-etnik Tiongkok (china) Makassar
pada mulanya orang-orang Tionghoa di Makassar. Mereka hidup rukun dengan orang-orang pribumi Makassar-Bugis. Namun setelah malapetaka G30S pada tahun 1965 terjadi, maka kenangan kerukunan dan kedamaian menjadi sirna ditelan nafsu angkara manusia. Mereka seakan kembali dari zaman kegelapan, mereka menggunakan lagi prinsip jaman jahiliah sikanre jukuki tauwwa (manusia bagaikan binatang yang saling memangsa), seperti yang pernah terjadi di kerajaan-kerajaan lokal Sulawesi Selatan sebelum kedatangan sang Ratu Adil Tumanurung Bainea ri Takabassia.
Orang-orang dari etnis Tionghoa diganyang, dilempari, dibunuh, diteror, dibakar dan diperkosa, karena hal-hal yang bersifat sepele. Pada tahun 1965, orang-orang dari etnis Tionghoa diganyang karena kampanye-kampaye sadis pemerintahan Orde Baru yang memberika statement bahwa orang-orang Tionghoa itu identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak saat itu pemerintah melegalkan suatu budaya amuk atau pengganyangan serta megeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengebiri hak-hak etnis Tionghoa.
pada tahun 1980. Etnis Tionghoa kembali di ganyang, disebabkan karena seorang Laki-laki yang kebetulan berasal dari etnis Tionghoa menghamili Pembantunya, seorang gadis dari Toraja, gadis ini kemudian meminta pertanggung jawaban dari tuannya, ia ingin dinikahi. Tapi tuannya ini salah satu pemilik tokoh LA, toko yang terbesar di Makassar waktu itu, malah membunuh dengan sadis pembantunya tersebut. Akibatnya warga pribumi mengamuk mengganyang etnis Tionghoa, ribuan bangunan ludes dilalap api, ratusan kendaraan bermotor pun demikian dan puluhan nyawa melayang.pada tahun 1997, pada penghujung Orde Baru, orang-orang dari Etnis Tionghoa kembali diganyang, penyebabnya karena seorang yang kelainan jiwa yang kebetulan beretnis Tionghoa, dengan kalap menebas seorang anak kecil yang berumur 9 tahun sampai mati Kebetulan yang dibunuh ini adalah anak dari staf IAIN Alauddin (sekarang UIN Alauddin). Akibatnya Makassar kembali lumpuh dan menelan banyak korban. Itulah ketiga letupan besar yang pernah terjadi dan masih banyak lagi letupan-letupan kecil yang pernah terjadi.
5.   Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh.
Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, namun pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat.
c. Penyebab terjadinya konflik sosial
                                                  menurut teori konflik, penyebab utama terjadinya konflik sosial adalah adanya perbedaan atau ketimpangan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat yang memunculkan diferensiasi kepentingan. Secara lebih rinci, faktor-faktor penyebab konflik menurut teori ini adalah sebagai berikut:

• Ketidakmerataan distribusi sumber-sumber daya yang terbatas dalam masyarakat.
• Ditariknya kembali legitimasi penguasa politik oleh masyarakat kelas bawah.
• Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara untuk mewujudkan kepentingan.
• Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas bawah serta lambatnya mobilitas sosial ke atas.
• Melemahnya kekuasaan negara yang disertai dengan mobilisasi masyarakat bawah dan/atau elit.
• Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideologi radikal.
Ø  Menurut pandangan pendekatan konflik, konflik berpangkal pada anggapan-anggapan dasar berikut:
1. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala-gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya atau dengan perkataan lain, konflik adalah merupakan gejala-gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
3. Setiap unsure di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.
4. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang yang lain.
Hal lain yang ditengarai menjadi sumber konflik adalah “perbedaan kepentingan” antara kelompoj-kelompok yang ada, antara elit dan masyarakat umum, disamping adanya struktur kekuasaan dan otoritas yang mewarnai masyarakat bersangkutan.
d. Akibat yang ditimbulkan dari masalah konflik sosial
  Dampak Negatif :
         Konflik menimbulkan prasangka antar pihak yang berkonflik
         Mengakibatkan kehilangan harta benda sampai dengan nyawa orang
         Renggangnya hubungan yang semula berjalan lancar.
  Dampak Positif :
         Meningkatkan solidaritas kelompok (In Group Solidarity)
            Sebuah kelompok memiliki pihak lain yang diidentifikasikan sebagai musuh bersama. Dengan ini setiap anggota kelomok tersebut akan bekerja sama untuk menyingkirkan pihak yang diidentifikasikan sebagai musuh bersama tadi. Contohnya, pada tahun 1998 Orde Baru merupakan musuh bersama para mahasiswa yang menginginkan adanya reformasi. Mereka bersatu dalam kelompok angkatan ’98 yang berusaha melengserkan Soeharto dari jabatan Presiden.
         Menciptakan Integrasi yang harmonis
            Integrasi yang dimaksud adalah yang terjadi setelah konflik berakhir. Contohnya seperti konflik di Aceh antara GAM dengan Republik Indonesia. Pihak Gerakan Aceh Merdeka ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia. Konflik pun terjadi bertahun-tahun tanpa adanya kesepakatan damai. Baru setelah Aceh dilanda tsunami, tercapai kesepakatan damai antara RI dan GAM. Akhirnya GAM memutuskan untuk kembali menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
         Memperkuat identitas pihak yang berkonflik
            Dengan adanya konflik, pihak-pihak yang terlibat semakin memahami identitasnya, baik sebagai individu maupun sbagai anggota dari sebuah kelompok. Ketika terjadi perbedaan pandangan perihal pelaksanaan proklamasi, mereka yang berusia muda mengidentifikasikan diri sebagai kelompok muda yang menginginkan kemerdekaan diproklamasikan secepatnya dan tanpa bantuan dari Jepang.
         Menciptakan kelompok baru
            Ketika terjadi perang Dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet berdiri sebuah kelompok yang bertekad tidak mau terlibat dalam pertikaian dua Negara tersebut. Kelompok ini lah yang menjadi Gerakan Non-Blok. Dalam hal ini, konflik yang terjadi malah mengakibatkan munculnya kelompok baru.
         Membawa Wawasan
            Konflik juga bisa membawa wawasan kedua belah pihak yang betikai. Contohnya pemboman Hiroshima dan Nagasaki telah membuka mata pihak yang bertikai bahkan dunia internasional akan bahaya bom atom.
e. Solusi masalah konflik sosial
Bentuk pengendalian konflik sosial yang paling prnting adalah konsoliasi yaitu suatu bentuk pengendalian sosial yang terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertengkarkan. Lembaga-lembaga yang terwujud itu paling tidak harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
v  Lembaga-lemabaga tersebut harus merupakan lembaga-lembaga yang bersifat otonom dengan wewenang untuk mengambil keputusan tanpa campur tangan dari badan-badan lain yang ada di luarnya.
v  Kedudukan lembaga-lembaga tersebut di dalam masyarakat yang bersangkutan harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga-lembaga itulah yang berfungsi demikian.
v  Peranan lembaga lembaga tersebut haruslah sedemikian rupa sehingga berbagai kelompok kepentingan yang berlawanan satu sama lain itu merasa terikat kepada lembaga-lembaga tersebut beserta dengan para anggotanya.
v  Lembga-lembaga tersebut harus bersifat demokratis, yakni setiap pihak harus didengarkan dan diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat-pendapatnya sebelum keputusan-keputusan tertentu diambil.


Schuyt (1981 : 55) membedakan beberapa kategori penyelesaian konflik, antara lain :
1. penyelesaian konflik melalui musyawarah, melalui perundingan, dan hal yang mewarnai situasi ini ialah bahwa keadaan pihak berada dalam kesetaraan satu dengan yang lainnya.
2. Penyelesaian konflik secara yudiris yaitu, kita dapat mengarahkan pemikiran pada upaya penengahan, perdamaian, atau pengajuan suatu pengaduhan kepada komisi khusus pengaduan. Kategori penyelesaian ini ditandai oleh keadaan bahwa bantuan (orang atau instansi) diikutsertakan dalam konflik tersebut.
3. Penyelesaian konflik yuridis kehakiman, yaitu penyelesaian konflik dengan adanya campur tangan dari seorang hakim yang terlaksana atas permohonan yang dilanda konflik.
4. Penyelesaian konflik administrasi pemerintahan dan politik , yaitu para pihak yang terikat ketat pada ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang dibuat oleh legislatif.
5. penyelesaian konflik dengan jalan kekerasan dari Negara, yang mengerahkan kekuatan-kekuatan kepolisian dan militer.

            Tanpa hadirnya keempat hal tersebut, maka konflik-konflik yang terjadi di antara berbagai kekuatan sosial akan menyelinap ke bawah permukaan, yang pada saatnya tanpa dapat
 diduga sebelumnya akan meledak ke dalam bentuk kekerasan. Namun demikian, semuanya itu hanya mungkin diselenggarakan apabila kelompok-kelompok yang saling bertentangan itu sendiri mampu memenuhi tiga macam prasyarat berikut :
1). Masing-masing kelompok yang terlihat di dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka, karena itu menyadari pula perlunya dilaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua pihak.
2). Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisir dengan jelas. Sejauh kekuatan-kekuatan sosial yang saling bertentangan berada di dalam keadaan yang tidak terorganisir, maka pengendalian atas konflik-konflik yang terjadi di antara mereka pun akan merupakan suatu hal yang sulit dilakukan . sebaliknya konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok yang terorganisir akan lebih mudah melembaga, dan oleh karena itu akan lebih mudah dikendalikan pula.
3). Setiap kelompok yang terlibat di dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan permainan tertentu, suatu hal yang akan memungkinkan hubungan-hubungan sosial diantara mereka menemukan suatu pola tertentu. Aturan-aturan permainan tersebut, pada gilirannya justru menjamin kelangsungan hidup kelompok-kelompok itu sendiri, oleh karena dengan demikian ketidakadilan akan dapat dihindarkan, memungkinkan tiap kelompok dapat meramalkan tindakan-tindakan yang akan diambil oleh kelompok yang lain serta menghindarkanmunculnya pihak ketiga yang akan merugikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.









 BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Konflik sosial adalah pertentangan perselisihan maupun percekcokan yang terjadi di masyarakat. penyebab utama terjadinya konflik sosial adalah adanya perbedaan atau ketimpangan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat yang memunculkan diferensiasi kepentingan.
 Semua lapisan masyarakat di dunia pernah mengalami konflik. Secara teortis konflik sosial sebenarnya membawa manfaat yang baik bagi masyarakat hanya saja cara dan jalannya kebanyakan mengarah ke dampak negatif. Sehingga di masyarakat banyak terjadi kerusuhan di mana-mana. Konflik sosial juga membawa dampak positif walaupun pada kenyataannya yang terjadi dimasyarakat kebanyakan dampak negatif.
.
Saran
Sebaiknya kita sebagai bangsa dan negara yang beragama dan juga bernegara hukum, seharusnya kita berusaha menghindari adanya konflik sosial di antara masyarakat, agar Negara kita ini  bisa menjadi Negara yang penuh dengan kedamaian, kerukunan dan bebas dari segala jenis konflik dan pertentangan.






Daftar Pustaka
Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Irewati Awani. 2001. Kerusuhan Sosial di indonesia. Jakarta: PT. Grasindo.
Rijkschroeff, B. R. 2001. Sosiologi Hukum dan Sosiologi Hukum. Bandung: CV. Mandar Maju








No comments:

Post a Comment