BAB II
PEMBAHASAN
1.
DEFINISI PATOLOGI BIROKRASI
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy
(bureau + cracy), diartikan sebagai sesuatu organisasi yang memiliki rantai komandogn
bentuk piramida, dimana lebih bayak orang berada ditingkat bawah dari pada
tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif
maupun militer.
Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung
jawab kerjanya dideskripsikan degan jelas dalam organigram. organisasi ini pun memiliki aturan &
prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. ciri lainnya adalah
biasanya terdapat bayak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang
harus dilakukan sesuai dgn hirarki kekuasaan.
Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi
memiliki arti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi
adalah : "Bureaucracy is an
organisation with a certain position and role in running the government
administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian
dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan
posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu Negara.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa
pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin
diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi.
Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai
tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosio-kultural
dan teknologikal.
Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi
birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari
nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan
serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
Patologi Birokrasi juga diartikan dalam beberapa artian
seperti sebagai berikut:
1. Birokrasi sebagai organisasi yang
berpenyakit (patologis)
2. Organisasi dan perilaku birokrat
yang inefektif dan inefisien
3. Struktur dan fungsi organisasi besar
yang sering melakukan kesalahan dan tidak mampu berubah
Red
Tape merupakan awal kemunculan dari sebuah Patologi ini. Red Tape disebabkan
adanya kecenderungan alami yang terjadi di dalam tubuh dan para birokrat yang
tercetak dari rutinitas kegiatan mereka sendiri. Birokrasi yang semestinya
lebih memper-efisien-kan proses malah semakin berbelit-belit karena para
birokrat terlalu “patuh” pada prosedur yang ada. Jenis dari Patologi Birokrasi
selain Red Tape yaitu Korupsi, Kolusi, Nepotisme, tidak adanya akuntabilitas,
pertanggung jawaban formal, dan lain sebagainya.
Negara
berkembang bisa dikatakan sebagai pusat dari Patologi Birokrasi. Ciri dari
birokrasi negara berkembang yaitu: Pertama, administrasi publiknya bersifat
elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya serta
paternalistik. Kedua, birokrasinya kekurangan sumber daya manusia (dalam hal
kualitas) untuk menyelenggarakan pembangunan dan over dalam segi kuantitas.
Ketiga, birokrasi di negara berkembang lebih berorientasi kepada kemanfaatan
pribadi ketimbang kepentingan masyarakat. Keempat, ditandai adanya formalisme.
Yakni, gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi
formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Kelima, birokrasi di negara
berkembang acapkali bersifat otonom. Artinya lepas dari proses politik dan
pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum
terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis. Dari sifat inilah, lahir nepotisme,
penyalahgunaan wewenang, korupsi dan berbagai penyakit birokrasi yang
menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki
kredibilitas yang rendah
Gejala
Terjadinya Patologi (penyakit) Birokrasi
Berbagai
keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan hal baru lagi,
karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik
yang sangat buruk, negatif atau sebagai suatu penyakit (bureau patology),
seperti Parkinsonian (big bureaucracy), Orwellian (peraturan yang menggurita
sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengontrol masyarakat) atau Jacksonian
(bureaucratic polity), ketimbang citra yang baik atau rasional (bureau
rationality), seperti yang dikandung misalnya, dalam birokrasi Hegelian dan
Weberian.
Citra
buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan,
yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi
dengan beranekaragam bentuknya, serta lambatnya pelayanan, dan diikuti dengan
prosedur yang berbelit-belit atau yang lebih dikenal dengan efek pita merah
(red-tape). Keseluruhan kondisi empirik yang terjadi secara akumulatif telah
meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan Weberian yang memfungsikan birokasi
untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses pemerintahan. Birokrasi, dalam
keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak disiplin, dan
penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat besar, tetapi sangat
mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat.
Buruk
serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat untuk
mencari ”jalan pintas” dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam
rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti
ini pada gilirannya seringkali mendorong para pejabat untuk mencari
”kesempatan” dalam ”kesempitan” agar mereka dapat menciptakan rente dari
pelayanan berikutnya. Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam
birokrasi, menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok.
1.
Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal
ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan
menerima sogok, dan nepotisme.
2.
Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai
kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang
rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan.
3.
Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan,
menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
4. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang
bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk,
dan diskriminatif.
5.
Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat
negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang
memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.
2. JENIS-JENIS PATOLOGI BIROKRASI
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA (1994) menyebut serangkaian contoh penyakit
(patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit – penyakit tersebut dapat
dikategorikan dalam lima macam :
- Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para birokrat. Diantara patologi jenis ini antara lain, penyalahgunaan wewenag dan jabatan, menerima suap, arogansi dan intimidasi, kredibilitas rendah, dan nepotisme.
- Patologi yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana birokrasi. Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa puas diri, bertindak tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif, dan kebingungan.
- Patologi yang timbul karena tindakan para birokrat yang melanggar norma hokum dan peraturan perundang-undangan. Diantara patologi jenis ini antara lain, menerima suap, korupsi, ketidakjujuran, kleptokrasi, dan mark up anggaran.
- Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional. Diantara patologi jenis ini antara lain, bertindak sewenang-wenang, konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin.
- Patologi yang merupakan akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan. Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja kurang kondusif.
DIMENSI-DIMENSI PATOLOGI BIROKRASI
Istilah patologi lazim
digunakan dalam wacana akademis di lingkungan administrasi publik untuk
menjelaskan berbagai praktik penyimpangan dalam birokrasi, seperti;
paternalisme, pembengkakan anggaran, prosedur yang berlebihan, fragmentasi
birokrasi, dan pembengkakan birokrasi (Dwiyanto, 2011:59). Untuk keperluan
teoritik, maka dimensi-dimensi patologis yang disebutkan terakhir akan
diuraikan secara singkat seperti berikut.
1. Birokrasi Paternalistis
Perilaku birokrasi
paternalistis adalah hasil dari proses interaksi yang intensif antara struktur
birokrasi yang hierakis dan budaya paternalistis yang berkembang dalam
masyarakat. Struktur birokrasi yang hierarkis cenderung mebuat pejabat bawahan
menjadi sangat tergantung pada atasannya. Ketergantungan itu kemudian mendorong
mereka untuk memperlakukan atasan secara berlebihan dengan menunjukkan
loyalitas dan pengabdian yang sangat tinggi kepada pimpinan dan mengabaikan
perhatiannya kepada para pengguna layanan yang seharusnya menjadi perhatian
utama (Mulder, 1985).
Struktur
birokrasi yang hierarkis mendorong pejabat bawahan untuk menunjukkan loyalitas
dan penghormatan kepada atasan secara berlebihan, karena seorang pejabat
bawahan hanya memiliki satu atasan. Pejabat atasan memiliki peran yang penting
dalam pengembangan karier pegawai, karena informasi mengenai kinerja pegawai
sangat ditentukan oleh atasannya. Bahkan penilaian kinerja pegawai itu
dilakukan oleh atasan langsung. Informasi mengenai kinerja pegawai atau pejabat
itu kemudian diteruskan oleh atasan langsung kepada pejabat atasan yang lebih
tinggi.
Peranan atasan
langsung dalam penilaian kinerja menjadi sangat penting sehingga wajar apabila
para pejabat birokrasi cenderung memperlakukan atasannya secara berlebihan.
Mereka cenderung menunjukkan perilaku ABS, yaitu meberikan laporan yang baik
dan menyenangkan atasan dengan menciptakan distorsi informasi. Akibatnya, para
pejabat atasan seringkali menjadi kurang memahami realitas masalah yang
dihadapi oleh masyarakat (Harmon, 1995). Berbagai persoalan yang dikeluhkan
oleh pengguna layanan tidak tersampaikan pada pejabat atasan, namun tidak
diatasi sendiri oleh petugas pelayanan karena mereka tidak memiliki kewenangan
yang memadai untuk meresponsnya. Mereka beranggapan bahwa menyampaikan
persoalan yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya dapat menciptakan penilaian
buruk dari pejabat atasan terhadap kinerja mereka. Akibatnya responsivitas
birokrasi dan pejabatnya terhadap dinamika lingkungannya menjadi sangat rendah.
2. Prosedur Yang Berlebihan
Prosedur yang berlebihan
merupakan bentuk penyakit birokrasi publik yang menonjol di berbagai instansi
pelayanan publik di Indonesia. Birokrasi publik bukan hanya mengembangkan
prosedur yang rigid dan kompleks, tetapi juga mengembangkan ketaatan terhadap
prosedur secara berlebihan. Dalam birokrasi publik, prosedur bukan lagi
sebagai fasilitas yang dibuat untuk membantu penyelenggaraan layanan tetapi
sudah menjadi seperti berhala yang harus ditaati oleh para pejabat birokrasi
dalam kondisi apapun. Bahkan prosedur sudah menjadi tujuan birokrasi itu
sendiri dan menggusur tujuan yang semestinya, yaitu melayani publik sexcara
professional dan bermartabnat. Apapun penyebabnya, pelanggaran terhadap
prosedur selalu dianggap sebagai penyimpangan dan karena itu pelanggarnya harus
diberi sanksi.
Dalam
birokrasi Weberian pengembangan prosedur yang rinci dan tertulis dilakukan
untuk menciptakan kepastian pelayanan. Prosedur tertulis yang jelas dan rinci
sebenarnya diperlukan oleh pejabat birokrasi sebagai penyelenggara layanan
ataupun oleh para pengguna layanan. Para pejabat birokrasi memerlukan prosedur
yang rinci dan tertulis karena dengan prosedur seperti itu mereka terhindar
dari keharusan mengambil keputusan. Keberadaan prosedur pelayanan sangat
membantu mereka dalam menentukan tindakan yang harus dilakukan untuk merespon
berbagai persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan layanan. Risiko
melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan bias dihindari dengan adanya
prosedur pelayanan yang tertulis dan rinci.
Prosedur yang tertulis dan
rinci juga menguntungkan bagi para pengguna layanan, karena mereka dapat lebih
mudah memahami hak dan kewajibannya dalam mengakses pelayanan. Mereka juga
menjadi semakin mudah mengetahui apakah hak-haknya sebagai warga negara
dilanggar oleh para pejabat birokrasi atau tidak pada saat mereka mengakses
pelayanan publik. Para pengguna layanan juga menjadi lebih mudah untuk turut
serta mengontrol proses penyelenggaraan layanan publik. Tanpa prosedur yang
jelas dan rinci maka sangat sulit bagi para pengguna layanan untuk memahami hak
dan kewajibannya ataupun menjalankan peran kontrol terhadap proses
penyelenggaraan layanan publik. Oleh karena itu, prosedur yang rinci dan
tertulis sebenarnya diperlukan oleh pejabat birokrasi dan pengguna layanan.
Tidaklah mengherankan jika prosedur kemudian berkembang semakin banyak sehingga
menjadikan birokrasi mengalami over regulation yang juga merupakan salah
satu penyakit birokrasi.
3. Pembengkakan Birokrasi
Mengamati sejarah
perkembangan berbagai birokrasi pemerintah di Indonesia dengan mudah dapat
dilihat perkembangan sejumlah birokrasi yang semula dibentuk dengan misi yang
jelas dan struktur yang ramping, tetapi dalam waktu singkat birokrasi tersebut
sudah berubah menjadi kerajaan birokrasi yang besar. Kecenderungan seperti ini
sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di
negara-negara lainnya. Fenomena ini lazim terjadi karena memang ada
kecenderungan dari internal birokrasi untuk mengembangkan diri seiring dengan
kegiatan untuk memperbesar kekuasaan dan anggaran.
Menurut Dwiyanto (2011:97)
terdapat dua cara yang biasanya ditempuh untuk membengkakkan birokrasi. Cara
pertama dilakukan dengan memperluas misi birokrasi. Pada saat pemerintah
membentuk satuan birokrasi tertentu biasanya pemerintah memiliki gambaran yang
jelas mengenai misi yang akan diemban oleh satuan birokrasi itu. Misi itu juga
yang menjadi alasan dibentuknya sebuah atau beberapa satuan birokrasi. Namun,
setelah terbentuk, para pejabat di birokrasi itu untuk selanjutnya cenderung
memperluas misi birokrasi. Alasan utama yang mendorong mereka memperluas misi
birokrasi tidak lain adalah keinginan para pejabat itu untuk dapat mengakses
kekuasaan dan anggaran yang lebih besar.
Cara kedua untuk
membengkakkan birokrasi adalah dengan melakukan kegiatan di luar misinya.
Tindakan seperti ini banyak sekali dilakukan oleh satuan-satuan birokrasi, baik
di pemerintah pusat maupun daerah. Munculnya inisiatif untuk membengkakkan
birokrasi juga disebabkan oleh cara pengalokasian anggaran yang berorientasi
pada input. Karena alokasi anggaran didasarkan pada input, maka birokrasi dan
para pejabatnya yang ingin memperoleh anggaran besar cenderung memperbesar
input. Cara termudah untuk memperbesar input adalah dengan menciptakan banyak
kegiatan.
4. Fragmentasi Birokrasi
Fragmentasi adalah pengkotat-kotakan
birokrasi ke dalam sejumlah satuan yang masing-masing memiliki peran tertentu.
Fragmentasi birokrasi memiliki beberapa interpretasi. Pragmentasi birokrasi
dapat menunjukkan derajat spesialisasi dalam birokrasi. Dalam konteks ini
pembentukan satuan-satuan birokrasi didorong oleh keinginan untuk mengembangkan
birokrasi yang mampu merespons permasalahan publik yang cenderung semakin
kompleks.
Namun, fragmentasi
birokrasi yang tinggi juga dapat disebabkan oleh sejumlah motif lainnya. Pemerintah
mengembangkan satuan birokrasi dalam jumlah banyak bias saja bukan karena
keinginan pemerintah untuk merespon kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara
efisien dan efektif, malainkan karena adanya tujuan tertentu.
3. SOLUSI
UNTUK MENGATASI PATOLOGI BIROKRASI
Berikut alternatif pemecahan masalah
patologi di tubuh birokrasi di Indonesia dalam membangun pelayanan publik yang
efisien, responsif, dan akuntabel dan transparan perlu ditetapkan kebijkan yang
menjadi pedoman perilaku aparat birokrasi pemerintah sebagai berikut:
1. Dalam hubungan
dengan berpola patron- klien tidak memiliki standar pelayanan yang jelas/pasti,
tidak kreatif.Perlu membuat peraturan Undang – Undang- Undang pelayanan publik
yang memihak pada rakyat.
2.
Dalam hubungan dengan
struktur yang gemuk, kinerja berbelit – belit, perlu dilakukan restrukturisasi
brokrasi pelayanan publik.
3. Untuk mengatasi Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme selain hal diatas diharapkan pemerintah menetapkan perundangan
dibidang infomatika (IT) sebagai bagian pengembangan dan pemanfaatan e
Goverment agar penyelenggaraan pelayanan publik terdapat transparasi dan saling
kontrol.
4.
Setiap daerah
provinsi dan kabupaten dituntut membuat Perda yang jelas mengatur secara
seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan publik.
5. Setiap daerah diperlukan lembaga
Ombusman. Lembaga ini bisa berfungsi ingin mendudukan warga pada pelayanan yang
prima. Ombusman harus diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan
investigasi dan mencari penyelesaian yang adil terhadap perselisihan antara
pengguna jasa dan penyelenggara dalam proses pelayanan publik.
6. Peran kualitas
sumber daya aparatur sangat mempengaruhi kualitas pelayanan, untuk itu
kemampuan kognitif yang bersumber dari intelegensi dan pengalaman,skill atau
ketrampilan, yang didukung oleh sikap (attitude) merupakan faktor yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah patologi atau penyakit birokrasi yang
berhubungan dengan pelayanan publik di Indonesia. Untuk itu pelatihan
diharapkan mampu menjadi program yang berkelanjutan agar sumber daya aparatur
memeliki kecerdasan inteltual,emosional dan spiritual sebagai landasan dalam
pelayanan publik.
PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI GUNA MENGATASI PATOLOGI
BIROKRASI
Beberapa perubahan yang perlu dilakukan pemerintah guna merespon kesan buruk birokrasi. Birokrasi
perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain:
a) birokrasi harus lebih mengutamakan
sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan
masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan;
b) birokrasi perlu melakukan
penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif
dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan
yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan
kepada masyarakat);
c) birokrasi harus mampu dan mau
melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada
ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka
dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu;
d) birokrasi harus memposisikan diri
sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan;
e) birokrasi harus mampu dan mau
melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi
organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel
dan responsif.
Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi
birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien
kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi
daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi
diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang
diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan
pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam
kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja
atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki
loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan
(consistency atau coherency).
Oleh karena itu, untuk merealisasikan kriteria ini
Pemerintah sudah seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan tenaga kerja
birokrasi professional yang mampu menguasai teknik-teknik manajemen
pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule oriented)
tetapi juga pada pencapaian tujuan (goal oriented)
.
PROFESSIONAL DAN PROFESSIONALISASI DALAM
BIROKRASI
Birokrasi publik yang profesional harus lebih
berorientasi pada paradigma goal governance yang didasarkan pada
pendekatan manajemen baru baik secara teoritis maupun praktis. Sekaligus,
paradigma goal governance ini diharapkan mampu menghilangkan
praktekpraktek birokrasi Weberian yang negative seperti struktur
birokrasi yang hierarkhikal
yang menghasilkan biaya operasional lebih mahal (high cost economy)
daripada keuntungan yang diperolehnya, merajalelanya red tape, rendahnya
inisiatif dan kreativitas aparat, tumbuhnya budaya mediokratis (sebagai
lawan dari budaya meritokratis) dan in-efesiensi.
Birokrasi sebagai ujung tombak
pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai programprogram pembangunan dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi
yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugastugas umum pemerintahan dan
pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat.
Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan
(termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya
proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan
dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu
mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi
itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).
Strategi birokrasi profesional dalam
pelayanan publik ini ditandai dengan beberapa karakteristik antara lain:
Pertama, perubahan yang besar pada
orientasi administrasi negara tradisional menuju ke perhatian yang lebih besar
pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan.
Kedua, keinginan untuk keluar dari
birokrasi klasik dan menjadikan organisasi, pegawai, masa pengabdian dan
kondisi pekerjaan yang lebih luwes.
Ketiga, tujuan organisasi dan individu
pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan dibuatkannya tolok ukur
prestasi lewat indikator kinerjanya masing-masing, termasuk pula sistem
evaluasi program-programnya.
Keempat, staf pimpinan yang senior dapat
memiliki komitmen politik kepada pemerintah yang ada, dan dapat pula bersikap
non partisan dan netral.
Kelima, fungsi-fungsi pemerintah bisa
dinilai lewat uji pasar (market test) seperti misalnya dikontrakkan pada
pihak ketiga tanpa harus disediakan atau ditangani sendiri oleh pemerintah.
Keenam, mengurangi peran-peran pemerintah
misalnya lewat kegiatan privatisasi.
Ketujuh, birokrasi harus steril dari
akomodasi politik yang menghambat efektivitas pemerintahan.
Kedelapan, rekruitmen dan penempatan pejabat
birokrasi yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotism.
PEMBENTUKAN UU REFORMASI BIROKRASI
Keberadaan UU Reformasi Birokrasi dimaksudkan untuk menjamin kontinuitas
pelaksanaan reformasi birokrasi, yang harus menggunakan pendekatan, bukan
sepotong-sepotong, dan perlu kesungguhan, dan konsistensi. Untuk itu,
diperlukan kerjasama yang sinergis antara semua elemen bangsa, yang sebenarnya
masing-masing tujuan yang baik untuk bangsa dan negara.
MERUBAH
PATOLOGI BIROKRASI MELALUI PRINSIP GOOD GOVERNANCE
Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance
itu ada jika pembagian kekuasaan ada. Jadi ada disperse of power, bukan concentrate
of power. Good governance sama dengan disperse of power, pembagian
kekuasaan di tambah akuntabilitas publik dan transparansi publik.
Jadi kalau tidak ada prinsip ini, good governance perlu untuk menekan
penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang biasanya itu menimbulkan korupsi.
Dan corrupt itu selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas
dari good governance, semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah
kualitas good governance, korupsinya semakin tinggi.
Dari penyataan di atas tergambar dengan jelas betapa
prinsip-prinsip good governance dapat mencegah patologi birokrasi
terutama dalam hal korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk lebih detailnya
prinsip-prinsip good governance dapat merubah patologi birokrasi, maka dapat
diuaraikan sebagai berikut:
1. Participation.
Melalui prinsip ini akan masyarakat terlibat dalam pembuatan
keputusan yang bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartsipasi
secara konstruktif, sehingga dengan demikian maka pemerintahan tidak menjadi
otoriter dalam mengambil keputusan. Keputusan yang dihasilakan merupakan
representasi dari keinginan masyarakat dan tidak dapat diintervensi oleh
pihak-pihak yang ingin memanfaatkan pemerintah.
2. Rule of law.
Supremasi hukum merupakan langkah yang harus diambil untuk
meminimalisir atau menghilangkan praktek-praktek patologi dalam birokrasi.
Dengan penegakan hukum yang baik maka indikasi untuk melakukan kesalahan akan
terhapus karena para birokrat akan merasa takut dengan ancaman hukum.
3. Transparancy.
Melalui prinsip
transparansi maka segala hal yang dilakukan oleh pemerintah atau birokrat dapat
di kontrol oleh masyarakat melalui informasi yang terbuka dan bebas diakses.
Transparansi ini mendorong birokrasi untuk senantiasa menjalankan aturan sesuai
ketentuan dan perundang-undangan, karena bila tidak sasuai masyarakat pasti
mengetahui dan melakukan penututan.
4. Responsiveness.
Pradigama baru
birokrasi menekanakan bahwa pemerintah harus dapat melayani kebutuhan
masyarakat umum dan memberi respon terhadap tuntutan pembangunan. Patologi yang
selama ini terjadi dimana pemerintah dilayani oleh masyarakat, maka dengan
prinsip responsiveness pemerintah harus sedapat mungkin memberikan pelayanan
kepada stakeholders.
5. Effectiveness and efficiency.
Pemborosan yang terjadi dalam praktek pengelolaan organisasi
birokrasi dapat diminimalisir oleh prinsip ini. Terutama dalam pengelolaan
anggaran pemerintah.
6. Accountability.
Melalui pertanggungjawaban kepada publik maka birokrasi
menjadi hati-hati dalam bertindak, dengan akuntabilitas publik pemerintah harus
memberikan keterangan yang tepat dan jelas tentang kinerjanya secara
keseluruhan.
7. Strategic vision.
Melalui straegi visi
maka akan tumbuh dalam setiap birokrat akan nilai-nilai idealisme dan
harapan-harapan organisasi dan negara untuk masa yang akan datang. Nilai-nilai
dan harapan-harapan ini akan memeberikan kesan praktek pelaksaan pekerjaan
birokrasi.
BAB III
PENUTUP
·
KESIMPULAN
Dari materi yang telah
terurai di atas dapat di simpulkan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit di
dalam birokrasi yang sangat menggagu jalannya aktivitas di dalam birokrasi
tersebut. Penyakit birokrasi yang terjadi bukan saja membahayakan manusia di
dalam organisasi tersebut yang melakukannya tetapi juga orang lain di dalam
organisasi tersebut akan merasakan bahaya patologi birokrasi tersebut, bahkan
lebih dari itu patologi dalam birokrasi dapat mendatangkan bahaya bagi seluruh
masyarakat.
Penting dipahami patologi
birokrasi yang ber-sumber dari keperilakuan. Pemahaman perilaku dalam kaitannya
dengan patologi birokrasi, mutlak perlu disoroti dari sudut pandang etos kerja
dan kultur organisasi yang berlaku dalam suatu birokrasi tertentu. Telah
dimaklumi bahwa kultur organisasi suatu birokrasi tak bisa dilepaskan dari
kultur sosial di masyarakat luas. Kultur organisasi parting dipahami karena
berperan, antara lain sebagai alat pengendali perilaku para anggota birokrasi
pemerintahan. Dikatakan demikian, karena organisasi turut menentuk;m apa yang
baik dan tidak baik, yang boleh dan dilarang, hal-hal yang dipandang wajar dan
yang tidak wajar. Agar diakui dan diterima sebagai anggota birokrasi yang baik,
perilaku yang dituntut daripadanya adalah yang sesuai dengan kultur yang dianut
oleh organisasi yang bersangkutan.
Dari sifat inilah, lahir
nepotisme, penyalahgunaan wewenang, korupsi dan berbagai penyakit birokrasi
yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki
kredibilitas yang rendah.
·
SARAN
Berdasarkan
hasil analisis di atas, terdapat hal-hal perlu diperhatikan, sebagai berikut:
1. Patologi
Birokrasi harus diobati dengan Aturan, System dan Komitmen pengelolaan yang
berorientasi "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan
menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana,
bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk
segelintir orang". Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang
dilayani menjadi pelayanan dan pengabdi masyarakat.
2. Penguatan
kelembagaan untuk meningkatkan pengelolaan kualitas pelayanan pubik ini
ditujukan pada pelayanan publik dengan model satu pintu dan pelayanan yang
berbasis pada pelayanan administrasi dokumen.
3. Peningkatan
kualitas pelayanan publik diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral yang
tinggi dari seluruh aparatur daerah dan dukungan stakeholders lainnya.
4. Selain
kepemimpinan dan tim yang tangguh, peningkatan pelayanan publik juga
dipengaruhi oleh aspek kejelasan dan kepastian proses pelayanan seperti
prosedur (mekanisme), biaya, hasil yang diperoleh dan waktu.
5. Sumber
daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan demi lancarnya pelayanan
yang berkualitas. SDM atau karyawan yang terampil, memiliki wawasan serta sisi
kemanusiaan yang kuat misalnya emphaty adalah faktor utama dari sumber daya
yang harus dimiliki terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
·
Ali Andrias, S.IP., M.Si. 2012.
Patologi Birokrasi dan Pelayanan Publik . http://king-andrias.blogspot.com/2012/04/materi-kuliah-patologi-birokrasi-dan.html.
Diakses 23 november 2015.
·
Novianti,
piping. 2011. Patologi Birokrasi di Indonesia. http://pipingnoviati.wordpress.com/2011/12/22/patologi-birokrasi-di-indonesia-2/. Diakses 23 november 2015.
No comments:
Post a Comment