Kapabilitas
sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Kapabilitas sistem politik dapat diartikan
sebagai kemampuan sistem politik yang dapat digunakan untuk mematangkan
pembangunan politik disuatu negara. Menurut Almond,
untuk menetukan realitas kegagalan sistem politik, memerlukan serangkaian
parameter yang sekaligus pemenuhan didalamnya menjadi sebuah tawaran solusi.
Dikatakan bahwasanya setiap sistem politik harus memiliki enam jenis kemampuan,
yaitu :
1.
Ekstraktif
Ekstraktif adalah kemampuan pemerintah untuk
melakukan pengolahan terhadap SDA dan SDM dilingkungan dalam maupun lingkungan
luar. Adapun menurut Gabriel Almond mengemukakan bahwa Kapabilitas Ekstraktif,
yaitu kemampuan mengumpulkan dan mengelola sumber daya alam dan sumber daya
manusia dari lingkungan dalam negeri dan internasional. Kemampuan SDA biasanya
masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh
pemerintah, seperti bagaimana pemerintah mengelola pertambangan berhadapan
dengan modal domestik mau pun asing dan kepentingan kemakmuran rakyat di sisi
yang lain. Sementara kemampuan pengelolaan SDM akan berkaitan dengan
masalah-masalah pendidikan, peningkatan sumber daya, pengalokasian SDM dan
lain-lain. Tentu saja, pada akhirnya kedua dimensi kemampuan pengelolaan
potensi SDA dan SDM harus dipadukan ke dalam satu tujuan, yakni kemaslahatan
bangsa di mana sistem politik itu bekerja.
Contoh
Kasus
Kemampuan
ekstraktif dalam hal ini dapat dilihat dari pengelolaan minyak dan
pertambangan oleh penanam modal asing yang akan memberikan pemasukan bagi
pemerintah yang berupa pajak. Seperti contoh penambangan emas di Papua oleh PT
Freeport Indonesia yang mampu menyetorkan pajak senilai 19 triliun kepada
pemerintahan Indonesia. Walaupun kapabilitas ekstraktif ini telah dilakukan
namun pada kenyataanya sumber-sumber material belum mampu mengolah sumber daya
alam untuk mensejahterakan rakyat. Masyarakat tetap saja bergumul dengan
kemelaratan dan kemiskinan, Karena konstribusi pajak senilai 19 triliun itu
dinilai tidak sebanding dengan eksplotasi yang dilakukan oleh PT FI yang berdampak
pada kerusakan lingkungan yang berupa Limbah produksi yang dibuang kesungai.
2. Regulatif
Regulatif
adalah kemampuan pemerintah untuk membuat aturan- aturan yang dapat mengontrol
dan mengendalikan perilaku individu atau kelompok agar sesuai dengan
peraturan-peraturan yang berlaku. Gabriel Almond beranggapan bahwa Kapabilitas
Regulatif sama dengan pengaturan yang merujuk kepada aliran kontrol atas
perilaku individu dan relasi-relasi kelompok di dalam sistem politik. Point ini biasanya dilakukan dengan cara menerapkan peraturan-peraturan
secara umum, dimana tolok ukur penilaiannya terletak pada sejauh mana pola-pola
tingkah laku dari pada individu-individu yang ada beserta berbagai bidang di
dalamnya dapat diatur oleh suatu sistem politik.
Contoh kasus
Kemampuan
regulatif adalah kemampuan yang sangat kritis terjadi di indonesia. Regulasi
yang seharusnya hadir sebagai pengontrol dan pengendali tingkah laku dalam
berjalannya sistem politik terkadang disalah gunakan para pembuat
regulasi, bahkan cenderung “membentengi” diri lewat peraturan yang dibuatnya.
Telah banyak peristiwa besar yang terjadi di negara kita saat ini, seperti DPR
yang merupakan pembuat undang-undang, justru mereka sendiri yang banyak
melanggarnya. Selain itu, maraknya kasus mafia hukum yang notabene dilakukan
penegak hukum itu sendiri.
Apabila
kemampuan regulatif sistem politik ini dimaknai sebagai interaksi yang
mempengaruhi semua penggunaan paksaan fisik yang sah, maka sungguh tidak
efektif kemampuan sistem politik ini. Karena masih sangat marak aksi
premanisasi yang terjadi tanpa aparat negara yang mampu mencegahnya, bahkan
pengerusakan tempat-tempat ibadah menjadi fenomena tersendiri dalam negeri ini.
3. Distributif
Distributif
adalah kemampuan pemerintah untuk mengalokasikan dan mendistribusikan SDA dan
SDM berupa barang dan jasa yang dimiliki oleh masyarakat dan negara
secara merata. Menurut Gabriel Almond Kapabilitas Distributif yakni
merujuk kepada kemampuan melakukan alokasi dan distribusi sumber-sumber
ekonomi, penghargaan, status, dan kesempatan untuk semua lapisan masyarakat.
SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat
didistribusikan secara merata, dalam rangka penciptaan keadilan sosial. Pada
saat yang sama distribusi sumber-sumber penghidupan dan pekerjaan serta
mobilitas sosial juga penting diperlihatkan oleh kapabilitas distributif ini.
Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali
didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sistem dan struktur
perpajakan, dengan demikian, akan memengaruhi corak kenegaraan, apakah bisa
dikatakan lebih adil atau kurang adil, lebih mampu menjalankan kapabilitas
distributif atau malah gagal.
Contoh Kasus
Saat ini
masalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan tidak pernah
mendapatkan perhatian secara serius. Malahan ada kecenderungan semakin memburuk
mengenai hal ini. Kebijakan ekonomi neoliberal yang semakin intensif dilakukan
oleh pemerintahan SBY telah membuat ketimpangan dan kesenjangan antara kelompok
yang kaya dan kelompok yang miskin semakin memprihatinkan. Biaya pendidikan
semakin mahal sehingga hanya kelompok tertentu saja yang mampu mengakses,
terlebih lagi harus ada sistem standarisasi kelulusan berupa UN yang menuai
kontra dari berbagai pihak. Bagaimana tidak, sistem ini malah justru menjadi
diskriminasi bagi anak yang bersekolah di pedesaan yang harus disamakan
standarnya dengan anak perkotaan yang jauh lebih banyak penerima fasilitas
pendidikan dibanding dengan anak-anak didaerah terpencil. Demikian pula dalam
pelayanan kesehatan. Semakin mahalnya biaya kesehatan membuat masyarakat miskin
tidak lagi memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, sementara kelompok yang
kaya dapat memilih jenis pelayanan kesehatan apapun, termasuk pelayanan standar
internasional. Sebagai contoh seorang yang harus kehilangan anaknya karena
ditolak oleh 10 rumah sakit dengan alasan yang tidak tidak logis, menjadi
pemandangan tersendiri bagi bobroknya kapabilitas ditributif dari sistem
politik indonesia.
4. Simbolik
Simbolik
adalah kemampuan untuk membangun pencitraan terhadap kepala negara atau juga
rasa bangga terhadap negaranya. Menurut Gabriel Almond Kapabilitas simbolik,
artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat
kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang
dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sebuah sistem politik.
Contoh
Kasus
Kapabilitas
simbolik pada sistem politik di indonesia saat ini tidak melahirkan pemimpin
yang memiliki jiwa kemimpinan, karismatik dan relegius. Seperti kita ketahui
sosok pemimpin seperti Ir. Soekarno, yang karismatik dan Gusdur sebagai tokoh
agama. Tepuk tangan yang diberikan kepada pidato seorang tokoh politik
merupakan dukungan moral dan tanda penghormatan atas dirinya sebagai pemimpin.
Namun sekarang yang kita lihat tidak lagi terdapat pemimpin yang memiliki
simbol tertentu, sehingga hanya melahirkan kepala pemerintahan yang memimpin
dengan sistem kerja struktural belaka.
Tapi
pada perkembangannya, kemampuan simbolik mulai berangsur-angsur memberikan
titik terang, karena masyarakat semakin lama semakin pintar melihat calon-calon
pemimpin yang akan dipilihnya. Pemimpin yang hanya mengandalkan pencitraan
tidak akan mampu bertahan lama karena persaingan politik pun semakin ketat.
Siapa yang mampu menarik simpati masyarakat maka dia yang dipercaya, seperti
halnya Jokowi. Gubrakan dalam kepemimpinannya banyak menuai dukungan dari
masyarakat karena gayanya yang Blusukan membuat orang lebih simpati. Semoga
saja apa yang dilakukann pemimpin di negeri ini bukan untuk pencitraan untuk
mendapat simpati dari masyarakat tapi merupakan gaya kepemimpinana yang bisa
membuat Indonesia yang lebih baik.
5. Responsif
Responsif
adalah kemampuan daya tanggap yang diciptakan oleh pemerintah terhadap tuntutan
atau tekanan. Gabriel Almond berpendapat tentang Kapabilitas responsif bahwa
dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output. Output berupa kebijakan
pemerintah dapat dikur dari sejauh mana kebijakan tersebut dipengaruhi oleh
masukan atau adanya partisipasi masyarakat (sebagai inputnya). Di sini, agak
sedikit berbeda dengan kapabilitas simbolik, yang paling pokok bukan lah
didapatkannya benang merah antara kebijakan dengan tuntutan/aspirasi
masyarakat, tetapi lebih kepada bagaimana proses pembuatan kebijakan itu
sendiri, yakni pelembagaan mekanisme agregasi dan artikulasi politik
kepentingan masyarakat ke dalam sebuah kebijakan politik. Jadi, bukan sekedar
melihat apakah Output kebijakan paralel dengan aspirasi/tuntutan masyarakat
(kemampuan menangkap wacana aspirasi), tetapi apakah di dalam sistem politik
tersebut telah terlembagakan suatu mekanisme dimana rakyat dapat lebih mudah
dan lebih mungkin untuk terlibat di dalam tahapan-tahapan pembuatan kebijakan.
Contoh
Kasus
Mengenai
responsivitas, sistem politik kurang mengakomodasi segala kepentingan
masyarakat dilingkungan sistem politik itu sendiri. Karena selama ini
kecenderungan kebijakan dibuat oleh para elite politik, dan terkadang tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tuntutan masyarakatpun kurang direspon
dengan baik, meskipun ditekan dengan berbagai aksi demonstrasi.
Tragedi
Demonstrasi yang terjadi sehingga kerusakan bahkan berujung pada kematian
menjadi contoh nyata kurang rensonsif pemerintah terhadap tuntutan masyarakat.
Dengan hadirnya berbagai Lembaga swadaya masyarakat bisa lebih memudahkan
penyampaian aspirasi dan tuntutan masyarakat sehingga kapabilitas responsif
yang dicitptakan mampu menyeimbangkan antara tuntutan dan kebijakan sehingga
sistem politik dapat berjalan normal.
6. Domestik
dan internasional
Domestik
dan Iternasional adalah kemampuan yang dimiliki pemerintah dalah hal bagaimana
ia berinteraksi dilingkungan domestik maupun luar negeri.
Contoh
Kasus
Kemampuan
domestik sistem politik masih lemah sehingga relasi antara pemerintah dan
masyarakat kurang harmonis, hal ini tergambar dari berbagai aksi
ketidakpercayaan publik terhadap kinerja pemerintah selama ini. Mengenai
kemampuan internasional, sistem politik indonesia sangat terbuka terhadap
kebijakan internasional dan membentuk relasi yang baik dengan dunia
internasional. Namun menjadi ironi ketika sistem politik indonesia memberikan
kebebasan pada dunia internasional untuk berinvestasi, justru mengorbankan
masyarakatnya sendiri. Contoh riil yang terjadi saat ini, dimana adanya
perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dengan China yang justru
mematikan industri lokal. Dimana kebebasan produk Cina masuk kepasaran
Indonesia membuat daya beli masyarakat terhadap produk dalam negeri menjadi
berkurang.
No comments:
Post a Comment