GERAKAN
SOSIAL
Definisi Gerakan Sosial
Dalam A Dictionary of Sociology, gerakan sosial didefinisikan sebagai,
“upaya terorganisir yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk merubah atau
‘menolak’ perubahan yang terjadi dalam salah satu sendi―atau beberapa
sendi―kehidupan masyarakat.” Istilah tersebut untuk pertama kali digunakan oleh
Claude Henri Saint Simon untuk mengidentifikasi gerakan “protes” masyarakat
yang terjadi di Perancis pada abad ke-18.
Di era kontemporer, terminus “gerakan sosial” menunjuk pada suatu kelompok atau
organisasi yang berada di luar mainstream sistem pemerintahan yang
berlaku. Dengan demikian, ianya lebih tampak sebagai suatu bentuk
tindakan “oposisi” atas status quo. Dalam hal ini, disiplin sosiologi
melakukan kajian atasnya terkait strategi rekruitmen, dinamika serta dampak
yang ditimbulkan dari suatu kelompok atau organisasi sosial terhadap kehidupan
masyarakat―lebih pada kajian sosiologi organisasi.
Karakter dan Penyebab Lahirnya Gerakan Sosial
Gerakan sosial setidaknya memiliki empat karakter utama, pertama,
tindakan kolektif, kedua, bertujuan, ketiga, terorganisir dan keempat,
bersifat spontan. Namun kiranya, perlu dicatat bahwa gerakan sosial berbeda
dengan “gerakan politik” meskipun pada ranah yang berlainan keduanya memiliki
pertautan yang begitu erat dan tak terpisahkan. Gerakan sosial umumnya lahir
dan diinisiasi oleh beberapa individu atau kolektif dalam masyarakat semisal
kaum intelektual, cendekiawan, kelompok atau organisasi yang memiliki kesadaran
berikut perhatian khusus terhadap masyarakat dan lingkungannya. Tegas dan jelasnya,
berbagai pihak pencetus gerakan sosial tersebut tak terintegrasi oleh mainstream
sistem politik yang berlaku―bukan pelaku pemerintahan. Namun, ada kalanya pula
ketika elit pemerintahan membelot dan menggandeng masyarakat untuk melakukan
perubahan, dapat dikategorikan sebagai bentuk gerakan sosial mengingat
keterlibatan sipil di dalamnya.
Di satu sisi, gerakan politik diinisiasi oleh mereka yang
terintegrasi dengan sistem pemerintahan yang berlaku, sebagai misal
termanifestasikan dalam bentuk manuver politik, koalisi dan lain sebagainya.
Begitu pula, sebentuk gerakan masyarakat yang mengatasnamakan partai tertentu
di jalanan tidaklah dapat disebut sebagai gerakan sosial mengingat
ter-integrasi-nya mereka dalam sistem politik secara tak langsung berikut ditemuinya
kontrol (arahan) partai secara terpusat.
Pada ranah yang berlainan, Mc Adam dan Tarrow menguraikan
penyebab mungkinnya suatu gerakan sosial muncul ke permukaan. Menurut mereka,
terdapat empat elemen (variabel) yang mempengaruhinya antara lain,
Lembaga politik yang mulai mengalami keterbukaan.
Tengah tercerai-berainya keseimbangan politik,
sedang keseimbangan baru belum terbentuk.
Terjadinya konflik di antara para elit politik.
Para “pelaku perubahan” digandeng oleh para elit pemerintahan
untuk melakukan perubahan.
“Kesadaran”: Sebab Utama Lahirnya Gerakan Sosial
Kiranya, tak ada yang lebih penting selain term “kesadaran” ketika kita
berbicara mengenai beragam bentuk emansipatoris individu maupun kolektif. Marx
menelurkan konsep true conciousness ‘kesadaran yang benar’ pada kaum
buruh guna mendobrak dan menghancurkan tatanan feodal-kapitalis demi
terwujudnya masyarakat egaliter, “sama rasa, sama rata”. Sartre menggunakan
istilah “otentitas” bagi individu yang mampu melepaskan diri dari berbagai
bentuk belenggu dan menemui dirinya sebagai entitas yang faktual bebas
“sebebas-bebasnya”. Bordieu mencetuskan istilah doxa bagi setiap
individu maupun kolektif yang “sukses” melakukan hijrah dari penindasan
habitus lama guna beralih pada habitus baru yang emansipatoris.
Secara ringkas dan sederhana, kesadaran dapat diartikan
sebagai suatu bentuk pola pikir yang menginsyafi bahwa segala sesuatu tidaklah
tercipta secara sui generic ‘apa adanya’, melainkan melalui serangkaian
proses berikut pentahapan yang mendahuluinya di mana setiap kita memiliki
“kuasa” guna mempengaruhi, merombak bahkan menghancurkannya. Dalam tataran
sosiologi kontemporer, konsep kesadaran dan keterkaitannya dengan fenomena
gerakan sosial menemui bentuknya pada ranah pengkajian “sosiologi imajinasi” C.
Wright Mills serta “sosiologi reflektif” Mahzab Frankfurt (Herbert
Marcuse-Theodor Adorno-Max Hokheimer).
Sosiologi Imajinasi C. Wright Mills
Charles Wright Mills, salah seorang teoretisi konflik disiplin sosiologi
modern, menekankan pentingnya “imajinasi” dalam sosiologi. Hal tersebut―atau
konkretnya “sosiologi imajinasi” sebagai konsep yang dicetuskannya
kemudian―merupakan, “suatu kemampuan untuk melihat realitas secara mendalam
atas hidup kita dalam konteks struktur sosial secara umum”. Sebagai misal,
Mills menguraikan bahwa kemiskinan, kebodohan atau frustasi yang kita alami
tidaklah serta-merta (murni) disebabkan oleh diri kita sendiri, melainkan
berhubungan dengan kehidupan masyarakat secara luas. Hal tersebut, sebagaimana
diuraikannya lebih lanjut, secara pasti menyangkut sistem pemerintahan, sosial
dan ekonomi yang berlaku di suatu masyarakat.
Dalam tataran praksis, sosiologi imajinasi Mills memiliki kualifikasi guna
menjelaskan fenomena kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Apakah
kemiskinan tersebut disebabkan oleh faktor “struktural” sebagaimana ditegaskan
Revrisond Baswir, “kultural” layaknya ungkap para pakar modernitas Barat,
ataukah disebabkan oleh faktor “natural”, sosiologi imajinasi memiliki
kualifikasi guna menganalisis dan memberikan jawaban atasnya.
Contoh lain:
Sebagaimana kita saksikan, beberapa akhir ini fenomena
penggusuran pemukiman penduduk kian marak terjadi. Di tengah ketidakberdayaan kawula
alit, faktual pemerintah pun tak mampu menghentikan sepak-terjang para
kontraktor pemukiman elit. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Bilamana kita
menggunakan perspektif sosiologi imajinasi C. Wright Mills, maka
ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi penggusuran di atas dapat
diterjemahkan sebagai salah satu implikasi dari ter-distorsi-nya mekanisme
demokrasi. Apa yang dimaksudkan adalah, pemilu sebagai syarat mutlak
berlangsungnya sistem pemerintahan demokrasi kerap kali mengundang para pemodal
(investor) untuk masuk di dalamnya berikut menawarkan pembiayaan “kampanye” dan
sebagainya bagi para calon presiden, namun dengan syarat ... apabila kelak
mereka terpilih (baca: menang), maka kebijakan yang dibuatnya harus
menguntungkan para pemodal sebagai bentuk balas jasa. Hal tersebutlah yang
menyebabkan pemerintahan yang berkuasa kemudian tunduk dan tak mampu berbuat
apa-apa terhadap sepak-terjang para pemilik modal.
Sosiologi Reflektif Mahzab Frankfurt
Mahzab Frankfurt atau Mahzab Kritis dengan output pemikiran berupa
teori-teori kritik dalam ranah kelimuan sosial dan humaniora, hadir sebagai
upaya menghidupkan kembali dimensi kritis marxisme yang telah mengalami
kristalisasi dan pembekuan (baca: ideologisasi) sedemikian rupa dalam
implementasi rezim komunis Stalin-Uni Soviet. Metode yang dicetuskannya,
sosiologi reflektif, kerap pula disebut sebagai sosiologi “interpretatif” atau
“kritis”. Metode interpretatif berupaya menganalisis beragam bentuk teknis
maupun muatan komunikasi yang terjalin antara berbagai pihak, terutama antara
pihak yang berkuasa (dominan) dengan mereka yang tak memiliki akses terhadap
kekuasaan (dormant)―powerless. Melalui sosiologi interpretatif, interaksi
yang terjalin dapat dipetakan, memenuhi bentuknya sebagai paradigma kerja yang
mengisyaratkan terjadinya komunikasi satu arah dan cenderung “menindas”,
ataukah paradigma komunikasi yang mensyaratkan model komunikasi dua arah dan
bersifat emansipatoris (pembebasan). Metode ini dicetuskan oleh Jurgen
Habermas, generasi kedua Mahzab Frankfurt yang berupaya melakukan revisi
terhadap berbagai teori kritik generasi Frankfurt sebelumnya.
Di satu sisi, metode kritis berupaya menekankan pentingnya kewaspadaan kita
atas berbagai hal berbau “ideologis” dalam kehidupan sehari-hari.
“Ideologi” sebagaimana dimaksudkan di sini adalah, “segala sesuatu yang tak
bebas nilai berikut membawa muatan ‘kepentingan’ tersendiri”. Sebagai misal,
jalanan yang kerap kita lalui faktual tak lagi netral dan dipenuhi dengan
ideologi. Munculnya beragam banner dan spanduk iklan komoditas konsumtif
mensyaratkan ideologi di dalamnya, yakni “ideologi konsumerisme”. Begitu pula,
muatan yang terkandung dalam televisi, radio atau majalah, faktual mengandung
ideologi-ideologi tertentu yang sering kali tak kita sadari, entah ideologi
konsumerisme, candu (alkoholik dan pilholik) dan lain sebagainya.
Contoh lain implementasi sosiologi reflektif Frankfurters:
- Sosialisasi
Revolusi Hijau (Panca Usaha Tani/Bimas) pada masa rezim Orde Baru yang bersifat
satu arah dan menindas (paradigma kerja).
- Bangku
ruang kelas dengan papan menulis di bagian kanan mengisyaratkan muatan ideologi
“normal-abnormal”, seolah mereka yang menulis dengan tangan kanan adalah normal
dan sebaliknya (kidal) adalah abnormal―penindasan dalam bentuk benda budaya.
Daftar Pustaka
Baswir, Revrisond. 2002. Pembangunan Tanpa
Perasaan. Jakarta: Elsam.
Marshall, Gordon. 1998. A Dictionary of
Sociology. New York: Oxford University Press.
Nugroho, Heru. 2004. Menumbuhkan Ide-ide Kritis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siregar, Aminuddin (Penyunting). 1985. Pemikiran
Politik dan Perubahan Sosial. Jakarta: Akademika Pressindo.
Susilo, Rachmad K. D. 2008. Dua Puluh Tokoh
Sosiologi Modern. Yogyakarta: Ar-ruz Media.
No comments:
Post a Comment