BAB II. MILITER DAN POLITIK PADA ERA
ORDE LAMA
a. Awal tahun 1945
Sejak kelahirannya, Republik Indonesia,
yang diproklamasikan oleh Bapak Bangsa IR. Soekarno dan Mohammad Hatta, para
pendiri bangsa
telah memilih jalan demokrasi dalam proses politik di negeri ini. Pilihan
ini dapat dirasakan sebagai pilihan yang baik pada masa itu, namun dapat juga
dirasakan sebagai suatu pilihan yang sulit bagi sebuah
negara yang baru terbentuk, dan dimana fundamental bangsa Indonesia sebagai
suatu “Imagined Community Indonesia” belum sempurna terbentuk.
Beragamnya suku, etnis dan adat istiadat yang menjadi fondasi terbentuknya
Indonesia dapat menjadi suatu kekuatan, atau sebaliknya bisa menjadi sumber
ancaman bagi kelangsungan negeri ini.
Nafas yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan
jelas menyatakan bahwa Indonesia menganut konsep supremasi sipil atas
militer. Perhatikan pasal 10 konstitusi tersebut, di sana dengan jelas
disebutkan bahwa “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara”. Selanjutnya pasal 6 UUD 45
menjelaskan bahwa presiden adalah orang Indonesia asli yang “dipilih oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak”. Maka adalah suatu
konsekuensi logis bahwa siapa saja yang orang Indonesia, yang dipilih oleh MPR
menjadi presiden, maka dialah pemegang kendali atas tentara Indonesia.
Dengan kata lain pemimpin tertinggi tentara Indonesia bukanlah tentara itu
sendiri, melainkan rakyat Indonesia yang dipilih menduduki jabatan presiden.[12] Namun sejarah Indonesia pula yang kemudian menunjukkan
bahwa konstitusi adalah satu hal, kenyataan sehari-hari adalah hal yang
lain. Berbagai faktor yang muncul dan menjadi kenyataan sejarah kemudian
membentuk hubungan sipil-militer di Indonesia dalam suatu bentuk yang unik.[13]
b. Politik masa 1945-1949
Supremasi sipil atas militer, sebagai salah satu ciri
terlaksananya sebuah demokrasi yang sehat terbukti berulang kali mengalami
berbagai ujian dan hambatan. Sejak awal mula terbentuknya pemerintahan
Indonesia, militer Indonesia telah memiliki peran yang sangat besar dalam
menentukan garis sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sehingga selama
masa lima tahun revolusi Indonesia (1945-1949) dengan mudah kita dapat
menyaksikan betapa mencoloknya peranan militer. Demikian jelas dan
penting peranan politik tentara ketika itu sehingga sangat masuk akal apabila
dikatakan bahwa karakteristik yang paling mencolok dalam masa itu adalah adanya
dualisme kepemimpinan, yaitu militer dan politik.[14]
Melihat dari penjelasan teori Huntington dan Perlmutter di atas,
Tentara Indonesia mungkin dapat dikategorikan dalam tipologi tentara
pretorian revolusioner yang memiliki kecenderungan kuat untuk berpolitik.
TNI adalah tentara yang menciptakan diri sendiri (self created army),
artinya bahwa mereka tidak diciptakan oleh pemerintah, juga tidak oleh suatu
partai politik sebagaimana layaknya terjadi pada negara demokratis
lainnya. Tentara Indonesia terbentuk, mempersenjatai diri dan
mengorganisasi dirinya sendiri. Hal ini terjadi akibat adanya keengganan pemerintah
sipil pada waktu itu untuk menciptakan tentara. Pemerintah pusat yang
didominasi oleh generasi tua dibawah pimpinan Soekarno, berharap bisa mencapai
kemerdekaan secara damai. Namun, Tentara Indonesia yang pada saat itu
dimotori oleh para pemuda berpendapat lain dengan Sukarno, mereka kemudian
berinisiatif untuk mempersenjatai diri dan mendirikan organisasi tentara
sendiri, dengan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja
diproklamasikan tersebut.[15] Pertimbangan
pemerintah pusat yang diambil pada tanggal 22 Agustus 1945 dalam sidang PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yaitu tidak membentuk tentara
kebangsaan dilandasi oleh pertimbangan politik, dimana para pemimpin nasional
pada waktu itu memutuskan untuk menempuh terutama cara diplomasi untuk
memperoleh pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia. Pembentukan tentara
kebangsaan akan mengundang reaksi dari pasukan-pasukan Jepang yang masih
merupakan kekuatan riil, maupun pasukan-pasukan sekutu yang akan segera
mendarat di Indonesia.[16] Dari gambaran di atas
jelaslah bahwa TNI memiliki sifat tentara revolusi, tentara yang lahir bersama
rakyat, namun berbeda dengan jenis tentara revolusioner pada umumnya seperti
Tentara Pembebasan Rakyat Republik Rakyat China, yang kemudian
dikuasai oleh satu partai tunggal
yang berkuasa (Partai
Komunis China), atau seperti tentara merah Rusia yang juga
dikuasai oleh satu partai tunggal yang berkuasa mutlak.
Catatan sejarah tentang terbentuknya Tentara Indonesia ini
akhirnya menjadi salah satu penyebab betapa kuatnya peranan politik mereka
dalam penentuan
kebijakan pemerintahan
dikemudian hari, disamping sebab lain
yaitu
pertama kurangnya institusi politik yang kuat seperti partai
politik, lembaga legislatif dan pengadilan yang otonom serta kebebasan
pers yang dapat memperkuat kontrol terhadap militer[17],
kedua tingkah laku politik Panglima Besar Sudirman, dan ketiga
pengalaman tentara dalam menjalankan pemerintahan militer dimasa perang gerilya
1948-1949,[18] dan keempat ketidakmampuan
politisi sipil dalam mengatasi kesulitan dalam pengembangan ekonomi dan nation
building.[19]
Sebab lain yang menyebabkan kuatnya peranan Tentara
Indonesia dalam politik adalah pola tingkah laku Panglima Besar Sudirman dimana
menurut A.H. Nasution, Sudirman berulangkali mengatakan bahwa tentara bukanlah
alat mati, tetapi alat hidup. Disiplin tentara bukanlah disiplin
kadafer, melainkan disiplin berjiwa. Sudirman juga tidak pernah
menghindari persoalan politik negara, bergaul secara rapat dengan kaum politik,
bahkan tidak jarang menjadi penengah dalam konflik antara pemerintah dan pihak
oposisi.[20] Dalam beberapa kesempatan yang lain
A.H. Nasution juga mengungkapkan bahwa betapa Sudirman selalu bertindak selaras
dengan pengertian bahwa tentara adalah alat revolusi dan alat perjuangan, jadi
bukan semata-mata alat pemerintah. Pidato-pidato beliau, demikian
Nasution, mengupas soal-soal politik dan khusus hubungan dengan Belanda, beliau
berusaha menghubungkan ‘pemerintah sayap kiri’ dengan oposisi ‘persatuan
perjuangan’. Beliau selalu mengambil bagian dalam pertemuan-pertemuan
penting dari pihak pemerintah maupun dari pihak oposisi.[21]
Dari uraian diatas, dapat dilihat betapa tingkah laku dalam berpolitik Sudirman
telah menjadi contoh dan inspirasi bagi para pimpinan TNI sesudahnya, dalam
menyikapi hubungan sipil militer, serta menentukan keterlibatan mereka dalam
politik di negeri ini.
Melihat kondisi riil bangsa Indonesia setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, bahwa sangat sedikit lembaga politik yang
terbentuk serta berjalan dengan baik. Masih teramat jauh untuk dikatakan
adanya suatu lembaga politik yang mapan, sebagai salah satu prasyarat
terlaksananya demokrasi yang baik dan sehat. Tidak mengherankan apabila
tentara kemudian mengisi kekosongan-kekosongan lembaga politik tersebut, dan
kemudian mengambil peran yang penting dalam proses pengambilan keputusan
politik pada masa tahun 1945-1949. Hal tersebut bagi Huntington, yang
menekankan pembangunan politik melalui lembaga-lembaga politik, sebenarnya
intervensi militer dalam politik masih dapat diterima jika hanya merupakan
suatu periode transisi dalam usaha menciptakan lembaga-lembaga politik yang
kuat dalam mengantarkan sipil membangun pemerintahan sipil yang kuat[22]. Masa 1945-1949 dapat diterima dan dipahami
sebagai suatu masa transisi bagi bangsa Indonesia didalam berpolitik sebagai
suatu negara yang baru terbentuk.
Salah satu sejarah dimana tentara memainkan peranan
politiknya adalah manakala Belanda mendarat di Indonesia untuk melaksanakan
agresinya yang kedua, Sukarno kemudian memerintahkan tentara melalui Sudirman
untuk tetap berada di kota Yogyakarta sebagai suatu keputusan politik, namun
kemudian sebaliknya tentara menolak perintah tersebut dan memilih untuk meninggalkan
kota dan melakukan perang gerilya. Kali kedua dimana tentara memainkan
peran politik sentral adalah ketika Sukarno dan Hatta ditangkap oleh Belanda
pada masa agresi Belanda kedua, sementara belum ada lembaga politik lainnya
yang dapat memerankan peranan politik melawan kolonial Belanda, praktis tentara
adalah tinggal satu-satunya kekuatan yang tersisa, sehingga kemudian TNI atas
dasar pertimbangan situasi mengambil alih peran politik tersebut, dan secara
aktif kemudian mengambil keputusan-keputusan politik dalam perjuangan
menghadapi Belanda. Berbagai peristiwa lain pada kurun waktu 1945-1949
turut memperburuk situasi politik dalam negeri, seperti pemberontakan komunis
di Madiun pada tahun 1948 dan peristiwa penculikan politik tanggal 3 Juli 1946,
hal ini memaksa TNI yang pada dasarnya memang memiliki kecenderungan berpolitik
untuk terjun di arena politik. Peran politik yang dilakukan tentara ini
membuat kemudian tentara memperoleh legitimasi rakyat yang begitu besar untuk
ikut campur di dalam masalah politik.
c. Masa Demokrasi Parlementer
Peristiwa 17 Oktober 1952 serta kejadian yang mengawali dan
mengakhirinya, mungkin dapat dilihat sebagai suatu peristiwa yang paling dapat
menjelaskan awal keterlibatan kembali tentara dalam percaturan politik pada
masa ini. Pada saat itu terjadi demonstrasi di gedung parlemen,
demonstrasi dilakukan oleh sekitar 5000 orang dan kemudian bertambah sampai
sekitar 30.000 orang [23]. Demonstrasi ini
kemudian bergerak ke istana presiden, dimana massa menuntut pembubaran parlemen
dan menggantinya dengan parlemen baru, serta menuntut segera dilaksanakannya
pemilihan umum.
Peristiwa ini dipicu oleh mosi Manai Sophiaan, Sekretaris
Jenderal PNI, yang diawali oleh serangkaian kegiatan politik di parlemen yang menurut
penilaian TNI telah mencampuri teknis militer. Mosi Manai Sophiaan
bermula dari rencana TNI untuk me-reorganisasi TNI menjadi tentara Indonesia
yang profesional dan “to transform the existing army into highly trained
core army”[24]. Rencana ini disetujui dan
didukung oleh Menteri Hamengkubuwono, namun rencana demobilisasi ini ditentang
oleh Kolonel Bambang Supeno yang pada bulan Juli 1952 kemudian mendesak kepada
Presiden Sukarno untuk mengganti Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H.
Nasution. Akibat konflik intern Angkatan Darat ini, Kolonel Bambang
Supeno kemudian dipecat. Sementara
itu, persoalan ini ternyata
telah
menjadi sorotan parlemen Komisi Pertahanan sehingga
akhirnya masalah ini menjadi political issue, yang memancing munculnya
serangkaian mosi di parlemen. Tanggal 28 September 1952, Zainal
Baharuddin (Ketua Komisi Pertahanan), yang didukung oleh Partai Murba, Partai
Buruh, PRN dan PKI mengajukan mosi yang menyatakan “tidak percaya dan tidak
menerima policy yang dijalankan Menteri Pertahanan dalam menyelesaikan konflik
di dalam tubuh TNI dan meminta agar diadakan reformasi serta reorganisasi
pimpinan Kementrian Pertahanan serta pimpinan Militer”. Berikutnya pada
tanggal 13 Oktober 1952, I.J. Kasimo dari partai Katholik mengajukan mosi yang
merupakan counter motion dengan dukungan dari wakil-wakil partai
Masyumi, Parkindo dan Parindra, yang intinya berisikan kemungkinan
penyempurnaan struktur Kementrian Pertahanan dan struktur
kemiliteran. Pada tanggal 14 Oktober 1952 muncul mosi ketiga yang
dimotori oleh Sekjen PNI, Manai Sophiaan yang didukung oleh NU (Nahdlatul
Ulama) dan PSII yang intinya agar Panitia Negara memberikan saran “kemungkinan
penyempurnaan pimpinan dan organisasi Kementrian Pertahanan dan
Kemiliteran”. Mosi Manai Sophiaan ini memungkinkan dilakukannya pemecatan
atau penggantian pimpinan-pimpinan militer yang tidak disetujuinya, dan
ternyata mosi ini mendapat dukungan yang diam-diam dari Presiden Sukarno, yang
melalui Mr. Ishaq dan Mr. Sunarjo mendesak agar pimpinan PNI (Ali
Sastroamidjojo dan Sartono) mendukung mosi tersebut[25].
Demonstrasi pagi tanggal 17 Oktober 1952 tersebut
direncanakan oleh Markas Besar Angkatan Darat atas
inisiatif Letnan Kolonel Soetoko dan
Letnan Kolonel S. Parman akibat perasaan tidak puas
dikalangan militer karena urusannya dicampuri oleh orang non-militer.
Pelaksanaannya saat itu diorganisir oleh Kolonel Dr. Mustopo, Kepala Kedokteran
Gigi Angkatan Darat dan Perwira Penghubung Presiden, dan Mayor Kemal Idris, Komandan
Garnisun Jakarta. Seksi Intel Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran
dari luar ibukota dengan menggunakan kendaraan truk militer.
Pada waktu itu pasukan tank muncul di Lapangan Merdeka
dengan moncong meriam diarahkan ke Istana Presiden, dibawah pimpinan Letnan
Kolonel Kemal Idris.[26] Dalam gerakannya, para
demonstran memasuki gedung parlemen sambil berteriak: ”Ini peringatan! Ini
peringatan!” dan mereka juga merusak alat-alat perlengkapan parlemen.[27]
Pada hari itu juga, KSAD dan beberapa perwira senior TNI AD
menghadap Presiden. Para perwira tersebut terdiri atas para panglima
tentara dan teritorium, serta perwira di Mabes Angkatan Darat. Sebagai
juru bicara saat itu adalah sang penggagas ide demonstrasi, Deputy KSAD Kolonel
Soetoko. Turut hadir dalam pertemuan tersebut adalah Wakil Presiden,
Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang
didampingi KSAP Jenderal Mayor T.B. Simatupang.[28]
Dari pertemuan tersebut terungkap bahwa tentara (khususnya Angkatan Darat)
menganggap bahwa mosi Manai Sophiaan yang berisi tentang upaya penyempurnaan
organisasi kementrian pertahanan, dianggap telah melampaui batas kewenangan
DPRS dan melakukan intervensi politik yang merupakan kewenangan teknis militer,
sehingga delegasi mendesak Presiden untuk membubarkan parlemen dan secepatnya
mengadakan pemilu. Hal-hal tersebut di atas juga dianggap oleh A.H.
Nasution sebagai akibat dari terlalu jauhnya campur tangan kaum politisi
terhadap masalah intern APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia)[29]. Bentuk campur tangan politisi sipil dalam
rumah tangga militer, yang dilakukan semasa demokrasi parlementer ini, telah
menarik kembali tentara ke panggung politik. Suka atau tidak suka, fakta
sejarah menyatakan bahwa saat otonomi tentara dalam mengatur dirinya sendiri
diganggu serta diintervensi oleh elemen politik sipil, ada kecenderungan
tentara untuk kembali masuk dalam ajang politik praktis untuk memperjuangkan
hak-haknya mengatur rumah tangga sendiri. Lebih daripada itu, campur
tangan pihak sipil selalu mempunyai pengaruh penting terhadap para perwira
militer. Tindakan yang demikian biasanya dianggap sebagai penghinaan
terhadap profesionalisme prajurit dan citra diri para perwira dengan cara
menggantikan kriteria prestasi dengan kriteria politik, menimbulkan keraguan
terhadap identitas militer sebagai pesona yang netral dan bebas serta
dihormati, mengangkangi hierarki yang sudah baku, serta merusak kemampuan
perwira didalam mempertahankan kepentingan mereka bersama. Campur tangan
sipil terhadap urusan-urusan militer akan sangat menyakitkan bagi citra diri
korps militer dan dapat menjadi sumber utama bagi terjadinya kudeta berdarah[30]. Peristiwa 17 Oktober ini pada akhirnya
adalah merupakan manuver politik TNI [31] yang
gagal, karena Presiden Sukarno sampai akhir pertemuan dengan pimpinan TNI
menolak untuk melakukan tindakan diktator dengan membubarkan parlemen seperti
yang diharapkan oleh TNI[32]. Namun peristiwa ini
tidaklah hanya sampai disitu saja, masalah ini berekor panjang dikemudian hari
dan menjadi inspirasi bagi para pimpinan TNI untuk kembali ke dalam gelanggang
politik.
d. TNI sebagai kekuatan politik setelah
jatuhnya kabinet Ali
Pada tanggal 2 Mei 1955, seminggu setelah Konferensi Asia
Afrika digelar, KSAD Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya, didorong
oleh ketidakmampuannya melaksanakan amanat Piagam Yogya sebagai buntut dari
penyelesaian peristiwa 17 Oktober. Untuk menduduki jabatan tersebut,
kabinet berketetapan akan mengangkat salah satu perwira dari “kelompok anti 17
Oktober” dan segera mengajukan calon-calonnya, namun pimpinan TNI AD menjelang
akhir Mei menegaskan bahwa pengisian dan pengangkatan KSAD harus didasarkan
pada senioritas dan kecakapan sejalan dengan kepentingan militer[33]. Tetapi kemudian kabinet Ali
memutuskan untuk mengangkat Kolonel Bambang Utojo menjadi KSAD yang baru, yang
sebenarnya pada saat itu senioritasnya masih rendah. Pimpinan TNI menolak
keputusan tersebut, dan menganacam akan melakukan boycott terhadap
pengangkatan Bambang Utojo apabila tetap akan dilaksanakan. Pada hari
pengangkatan Kolonel Bambang Utojo dengan suatu upacara pelantikan sebagai
KSAD, dengan pangkat Mayor Jenderal, Pimpinan TNI dan para perwira yang
diundang memboikotnya atas perintah Pejabat KSAD Zulkifli Lubis, dan Lubis
menolak untuk menyerahkan otoritasnya kepada Bambang Utojo. Pemerintah
kemudian melalui menteri pertahanan Mr. Iwa Kusuma Sumantri atas instruksi dari
Presiden Sukarno bertindak dengan memecat Lubis dari segala jabatannya. Kolonel
Lubis tidak menggubris pemecatan itu dengan menyatakan bahwa dia didukung oleh
seluruh perwira Komandan Teritorium, serta seluruh pimpinan TNI. Akhirnya
timbullah polemik dimana para pimpinan TNI disatu pihak dan Pemerintah di pihak
yang lain tetap berkeras pada keputusan masing-masing. Sementara itu,
ternyata keputusan politik pemerintah terhadap TNI AD itu ditentang oleh
partai-partai, dan bahkan partai-partai pemerintah di Parlemen mengajukan mosi
tidak percaya atas keputusan tersebut, serta menuntut agar menteri-menterinya
ditarik dari kabinet. Hanya PNI dan PKI-lah yang tetap mendukung
keputusan tersebut, dan menyuarakan dalam media massa tentang adanya bahaya
diktator militer[34].
Karena masalah ini berlarut-larut, maka pada tanggal 13 Juli
1955, menteri Iwa Kusuma Sumantri mengundurkan diri, sehingga mengakibatkan
krisis politik yang demikian hebat dan memaksa Ali Sastroamidjojo
menyerahkan mandatnya kembali kepada Pejabat Presiden Mohammad Hatta pada
tanggal 24 Juli 1955[35]. Walaupun apabila dilihat
dari mekanisme sistem politik kabinet Ali jatuh karena partai-partai politik
dan parlemen, namun pada hakikatnya momentum jatuhnya kabinet Ali adalah karena
Angkatan Darat. Dan sejak saat itulah Angkatan Darat secara de facto merupakan
suatu kekuatan politik yang mulai aktif memainkan peranannya.
e. Munculnya militer sebagai kekuatan
politik pada Masa Transisi 1957-1959
Profesor Finer berpendapat mengenai peranan politik yang
mungkin dimiliki oleh Militer, bahwa sekalipun militer memiliki political
strenght, namun Militer sebagai suatu institusi menderita political
weakness yang lebih besar, yaitu bahwa walaupun militer pada suatu ketika
telah merupakan suatu kekuatan politik de facto (political force),
tetapi Militer dengan demikian saja masih selalu dalam keadaan “tidak mempunyai
kewibawaan untuk memerintah” atau lack of legitimacy. Hal ini berarti,
bahwa sekalipun Militer telah merupakan suatu kekuatan politik secara de
facto, tetapi kaum sipil tidak mau mengakui keadaan itu, dan kewibawaannya
tidak diakui kaum sipil.
Pada masa transisi di dalam kehidupan politik di Indonesia
ini Tentara Nasional Indonesia melalui Mayor Jenderal A. H. Nasution sebagai
KSAD, menitik beratkan tindakannya untuk mengurangi, dan bahkan untuk
menghilangkan kerapuhan politis yang merupakan kelemahan paling fundamentil
yang ada pada TNI. Dan Jenderal Nasution menitik beratkan usahanya untuk
mendapatkan legitimacy atau “dasar hukum” bagi TNI untuk melakukan peranan-peranan
non-militer dalam hal ini peranan politik yang selama ini belum dimiliki
TNI. Pada bulan Oktober 1956, Presiden Sukarno menawarkan alternatif
sistem pemerintahan “Demokrasi Terpimpin”, yang merupakan konsepsinya sendiri
yang kemudian pada tanggal 21 Pebruari 1957, Sukarno mengemukakan konsepnya
dihadapan pimpinan-pimpinan organisasi sipil dan militer di Istana Negara[36]. Usulan-usulan Sukarno dalam rangka pelaksanaan
ide Demokrasi Terpimpin adalah pertama, dibentuk kabinet baru yang mencakup
semua partai besar – termasuk PKI, kedua, dibentuk suatu badan penasehat
tertinggi yang anggotanya terdiri dari seluruh wakil golongan fungsionil di
dalam masyarakat[37]. Akibat konsepsi yang
dilemparkan oleh Bung Karno tersebut, timbullah reaksi pro dan kontra yang luar
biasa dikalangan masyarakat dan terutama di kalangan partai-partai politik,
sehingga muncul polarisasi antara dua kekuatan yang pro Sukarno maupun yang
kontra Sukarno. Bahkan daerah-daerah sudah banyak yang kemudian semakin
keras menentang pemerintah pusat dan diantaranya menyatakan daerah kekuasaannya
dalam keadaan darurat perang[38]. Melihat
pimpinan pusat TNI yang terus berdiam diri sehubungan dengan gagasan politik
Sukarno, hal bagi Sukarno menunjukkan keinginan TNI secara tersirat untuk
“mendapatkan lebih banyak porsi kekuasaan”. Sehingga ketika Jenderal
Nasution tidak berhasil mengkompromikan kaum daerah dengan pusat, dan lalu
mendesak Presiden Sukarno agar menyatakan seluruh wilayah negara berlaku
“keadaan darurat perang”, Sukarno-pun lalu mendesak Perdana Menteri Ali, yang
pada saat itu memng tidak mampu lagi menghadapi tantangan yang ada, untuk
menyetujui peraturan negara dalam keadaan darurat perang. Sehingga pada
tanggal 14 Maret 1957, sesaat sebelum Perdana Menteri Ali menyerahkan mandatnya
kembali kepada Presiden, dia menandatangani sebuah dekrit yang menatakan
“keadaan darurat perang” untuk seluruh negara. Pada hari itu juga
Presiden Sukarno mengumumkan Negara dalam keadaan darurat/bahaya perang, atau
S.O.B[39]. SOB inilah yang akhirnya memberikan
dasar hukum legitimacy kepada militer, untuk melakukan tindakan-tindakan
non-militer khususnya tindakan politik.
Setelah kabinet Ali kedua jatuh, Presiden menunjuk Suwirjo
untuk membentuk kabinet, namun upaya inipun gagal sehingga akhirnya Sukarno
menunjuk dirinya sendiri sebagai “warganegara Sukarno” menjadi formatir guna
membentuk suatu kabinet darurat. Sukarno berhasil membentuk kabinet
dengan Ir. Djuanda Kartawidjaja sebagai Perdana Menteri merangkap sebagai Menteri
Pertahanan, dan kabinet tersebut diberi nama Kabinet Kerja. Dalam proses
pemilihan anggota Kabinet Kerja tersebut, terlihat dengan kentara bahwa militer
telah dijadikan landasan utama oleh pemerintah, dengan mengurangi peranan
partai-partai politik serta parlemen, dan sebaliknya selaras dengan naiknya
peranan politik Presiden dan Angkatan Darat[40].
Dengan dasar SOB ini pula Kabinet Djuanda membentuk suatu Dewan Nasional, yang
keanggotaannya didasarkan pada golongan fungsionil, sehingga militer terutama
TNI-AD yang juga termasuk dalam golongan ini sangat mendukung adanya Dewan
Nasional. Sukarno beranggapan bahwa Dewan Nasional ini
merefleksikan seluruh masyarakat Indonesia berkedudukan lebih tinggi dari
kabinet yang hanya mewakili parlemen[41].
Atas dasar SOB ini Angkatan Darat yang dimotori oleh
Jenderal Nasution, lebih berkesempatan memasuki arena politik, dan berusaha
merenggangkan hubungan partai politik dengan kalangan fungsional yang merupakan
inti perjuangannya. Nasution mendirikan berbagai organisasi yang
berlabelkan Badan Kerja Sama, seperti BKS-PM (Badan Kerja Sama – Pemuda
Militer), BKS-Bumil dan BKS-Tamil (Tani Militer dan Buruh Militer), dll.
Namun upaya tersebut tidak sepenuhnya berhasil karena pada akhirnya hanya
organisasi Veteran di bawah TNI saja yang tetap eksis. Langkah
selanjutnya TNI berhasil membentuk organisasi Front Nasional Pembebasan Irian
Barat (FNIB) yang berbasiskan “Badan Kerja Sama Sipil-Militer” itu.
Pemberontakan PRRI-Permesta yang dimotori oleh militer di
daerah merupakan akibat ketidakpuasan daerah terhadap kebijaksanaan politik
pemerintah pusat, namun pada akhirnya pemberontakan tersebut dapat dikuasai
oleh TNI. Bagi internal TNI sendiri hal tersebut membawa dua akibat yaitu
pertama, tersingkirnya beberapa perwira yang menurut Ahmad Yani adalah “perwira
kelompok radikal”. Kedua, TNI memiliki dan mendapatkan posisi yang lebih kuat
di dalam pemerintahan, ditambah dengan berlakunya SOB. Karena itu, setelah
pemberontakan PRRI-Permesta lumpuh, Angkatan Darat mengeluarkan dua pokok
tujuan sehubungan dengan peranan politik yang sedang diraihnya. Pertama,
mengurangi peranan partai politik seminimum mungkin; dan kedua, menjadikan
peranan politik yang telah dimiliki oleh TNI bersifat permanen, tidak
bergantung pada SOB, yang justru sifatnya hanya sementara, sehingga menjadi
peranan politik yang memuaskan baik misi dan ambisi kaum elite-TNI.
f. Politik setelah RI Kembali ke Undang
Undang Dasar 1945
Selaras dengan dua tujuan yang telah ditetapkan pimpinan
Angkatan Darat sebelumnya, Nasution mengusulkan kepada Presiden untuk
mengusahakan mengurangi ketegangan diantara partai-partai politik, dan perlunya
suatu peraturan yang membatasi jumlah partai. Kemudian kepada Dewan
Nasional, Nasution juga mengusulkan agar seluruh pegawai negeri dilarang
memasuki suatu partai politik, termasuk di dalamnya adalah anggota militer dan
polisi. Sebagai implikasinya ia mengusulkan agar wakil-wakil militer
harus ditunjuk untuk duduk di parlemen, serta badan-badan pemerintahan
lainnya. Inilah yang merupakan hal kunci dari pemikiran Nasution untuk
mengurangi ketidakstabilan peranan politik TNI dan kemudian memberikan
kedudukan tetap dalam pemerintahan. Kunci pokok yang kedua, menurut
Nasution, berdasarkan pengalaman revolusi, Indonesia selalu membutuhkan
kepemimpinan yang secure dan stabil. Hal ini menurutnya hanya
dicapai dengan UUD 1945. Kita dapat menganalisis tentang latar belakang
pengusulan diberlakukannya kembali UUD 1945 bagi TNI baik secara konstitusional
maupun secara politis. Pertama, dalam UUD 1945 ada pasal tertentu yang
bisa ditafsirkan guna membentuk golongan fungsional. Kedua, guna
membubarkan Konstituante yang dianggap suatu perang ideologi partai[42]. Terhadap usul-usul Nasution di Dewan Nasional
itu, sekalipun ada yang mendukung, namun sebagian besar menolak dan tidak mau
menerimanya. Namun pada saat berikutnya, berawal dari pemberitaan pers
yang berturut-turut tentang beberapa kudeta militer di luar negeri, kemudian
hingga Nasution memberikan ceramahnya pada peringatan Hari Ulang Tahun Akademi
Militer Nasional di Magelang pada tanggal 12 Nopember 1958, yang oleh disebut
pidato “jalan tengah”[43], issue tentang wakil golongan
fungsional gagasan Nasution itu memperoleh kemajuan yang berarti[44]. Namun pidato middle way Nasution,
sungguh telah memberikan dampak psikologis yang menguntungkan bagi TNI, dimana
memberikan pilihan yang sulit bagi Dewan Nasional: apakah TNI akan diberi
kesempatan, atau TNI akan dipaksa untuk “merebut” kesempatan itu.
Akhirnya pada sidang tanggal 21-23 Nopember 1958, Dewan Nasional menyetujui TNI
diakui sebagai golongan fungsional Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia. Dewan Nasional kemudian mengambil keputusan untuk kembali
memakai UUD 1945 sebagai sistem pelaksanaan Demokrasi Terpimpin nantinya, dan
keputusan ini lalu diajukan kepada Kabinet Djuanda. Dan pada tanggal 19
Februari 1959, kabinet dengan suara bulat menyetujui keputusan tersebut serta
mengucapkan keputusan kembali ke UUD 1945 di depan sidang pleno DPR pada
tanggal 2 Maret 1959. Ditambah dengan deadlock-nya Konstituante
sejak bulan Februari 1959 dalam rangka merumuskan serta memutuskan dasar
negara, akhirnya dengan dukungan dari TNI Presiden Sukarno pada tanggal 5 Juli 1959
mengeluarkan Dekrit yang antara lain menyatakan pembubaran Konstituante dan
pemberlakuan kembali UUD 1945 (setelah UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku
lagi). Akhirnya, dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini
dapat dikatakan bahwa tujuan yang terkandung dalam peristiwa “17 Oktober”
tercapai di sini.
BAB III. MILITER DAN POLITIK PADA ERA
ORDE BARU
Keterikatan
ABRI dalam politik terlihat yaitu pada prakteknya militer bukan saja di
perbolehkan mengikuti dunia politik, melainkan juga ”bersama kekuatan sosial
politik lainnya” terlibat dalam kehidupan kenegaraan, yang bersumber pada aspek
legal empirik. Militer secara kelembagaan atau individu terlibat dalam
berbagai kegiatan seperti ;
- Sebagai pilar Orde Baru, duduknya TNI di DPR melalui jalur pengangkatan meskipun bukan partai tetapi didasarkan atas Susduk DPR/MPR RI yang mengesahkan kedudukan tersebut.
- Sebagai stabilisator dan dinamisator, kehadiran politik TNI di wujudkan melalui Golkar. Disamping untuk menjamin berjalannya sistem demokrasi, politisi Orde Baru juga berusaha melahirkan kekuatan politik yang dominan.
- TNI bukan saja hadir di lembaga legislatif tetapi juga di eksekutif. Hal tersebut dapat dilihat dari TNI yang duduk pada jabatan kunci di pemerintahan, baik yang masih aktif maupun yang sudah purnawirawan.
- Dala usaha menopang kesejahteraan keluarga TNI, Presiden Soeharto juga banyak memberikan kesempatan untuk berbisnis.
- Disamping tugas-tugas kekaryaan dan ekonomi, TNI juga memerankan fungsi modernisasi dengan ABRI masuk desa (AMD) pada daerah tertinggal dengan nama TNI [45].
Dominasi peran dalam dwi fungsi ABRI
memang berada pada angkatan darat [46], hal tersebut
terjadi karena sejarah panjang politik di Indonesi. Kegagalan kekuatan politik
nasionalis melawan kekuatan politik Islam dalam pemerintahan Soekarno, telah
menjadikan pamor kekuatan militer naik. Kup[47] yang
di lakukan PKI pada tahun 1965, membuat angkatan darat menjadi mobilisator[48] dari masyarakat untuk menghalau kekuatan PKI,
telah membawa nama militer (AD) semakin dicintai pada saat itu. Terutama dari
kalangan priyayi dan santri dalam usaha menandingi kekuatan komunis. Percaturan
politik di Indonesia sejak tahun 1959 hingga terjadi perebuatan kekuasaan oleh
PKI sangat didominasi oleh Soekarno sampai dengan hal-hal yang sangat sepele.
Sekilas dwi fungsi ABRI
Indonesia
khususnya tentang Dwifungsi ABRI yang dimulai dari konsep pemikiran Jalan
Tengah yang dikemukakan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H.Nasution
pada pidatonya di AMN Magelang pada bulan November 1958. Dalam konsep jalan
tengah ini dijelaskan perlunya keterlibatan militer selaku perseorangan untuk
turut secara aktif menyumbangkan tenaganya diluar bidang militer yang
dikemudian hari berkembang menjadi doktrin Dwifungsi yang ternyata menyimpang
menjadi penekanan peranan politik lembaga TNI.
Dari
perkembangan sejarah lahirnya Dwifungsi pada masa Demokrasi terpimpin ke
Dwifungsi era Orde Baru diwarnai dengan dinamika adanya politik Balance of
Power Presiden Soekarno yang kemudian adanya Gerakan 30 Septembernya PKI yang
disusul dengan lahirnya Orde Baru. Dimasa Orde Baru Doktrin Dwifungsi yang semakin gencar
dilakukan oleh TNI menghadapi berbagai kritik baik dari dalam maupun dari luar
tubuh TNI, Hal ini lebih disebabkan oleh karena makin merambahnya peranan TNI
dalam posisi posisi sipil baik dalam pemerintahan maupun dalam badan
legislatif.
Pada masa masa menjelang runtuhnya
rezim orde baru, kritikan-kritikan mengenai Dwifungsi makin gencar disuarakan
dari dalam tubuh TNI itu sendiri diatandai dengan semakin beraninya para
perwira TNI yang menyuarakan tentang peninjauan ulang doktrin Dwifungsi, tidak
terlepas para purnawirawan sepert Jendral Soemitro dan bahkan Jendral
A.H.Nasution selaku peletak dasar Dwifungsi turut bicara karena kondisi doktrin
dwifungsi yang makin menyimpang dari arah semula.
Munculnya konsepsi Empat Paradigma
Baru untuk menggantikan Dwifungsi pada masa pasca lengsernya kepemimpinan
Soeharto yang telah selama 32 tahun memimpin dengan ditopang oleh TNI sebagai
alat kekuasaan menunjukan bahwa sebetulnya konsep Dwifungsi belum sepenuhnya
hilang seperti yang diharapkan oleh public terutama kaum intelektual sipil yang
dimotori mahasiswa. Empat Paradigma Baru tidak lebih dari sebuah bentuk
Dwifungsi yang diperlunak, hal ini menunjukan bahwa TNI masih berusaha
mempertahankan posisinya sebagai kekuatan politik.
Angkatan bersenjata selaku salah
satu komponen dalam sebuah negara memiliki peranan yang berbeda beda dalam
prakteknya di dunia. Katakanlah negara-negara Eropa Barat dan Amerika serikat
yang menganut asas Supremasi sipil menempatkan angkatan bersenjatanya hanya
manjalankan fungsi Pertahanan saja. Lain halnya di negara-negara Amerika latin,
Asia, Afrika dan timur tengah, selain menjalankan fungsi Pertahanan, Angkatan
bersenjata juga menjalankan peran politik yang cukup besar. Dimana
tentara tampil sebagai aktor politik utama yang sangat dominan yang secara
langsung menggunakan kekuasaan atau mengancam dengan menggunakan kekuasaan
mereka. Kondisi tersebut diistilahkan oleh Eric A. Nordlinger dalam bukunya “Militer
dalam Politik” sebagai Pretorianisme yaitu campur tangan militer
dalam pemerintahan.
Berkenaan
dengan konsep supremasi militer dan supremasi sipil DR Salim Said menjadikan
konsep tersebut sebagai landasan teori dalam penulisan bukunya. Dengan
berlandaskan teori tersebut DR.Salim Said mengupas tuntas tentang peranan TNI
dalam kancah politik baik pada masa negara-negara Eropa Barat dan Amerika
mendukung posisi TNI dalam pemerintahan sebagai upaya menghalau pengaruh
komunis pada masa perang dingin hingga kebalikannya yaitu dimana Amerika dan
Eropa Barat mengecam keberadaan TNI dalam pemerintahan dan digaungkannya asas
supremasi sipil oleh mereka dimasa pasca perang dingin.
Pada masa
Soeharto tampil mengendalikan kekuasaan, militer mengukuhkan keyakinan dan
kebenaran dwifingsi yang kemudian secara resmi dinyatakan sebagi doktrin, yang
secara eksplisit menolak pandanagn yang secara tegas mengharuskan militer
mengambil jarak dari kehidupan politik, sembari menyatakan militer sebagai
penyelamat negara dan penjaga idiologi negara, Pancasila. Dengan kata lain
Dwifungsi dikembangkan menjadi sejumlah asumsi dasar sebagai justifikasi peran
politik militer, yang mencakup: Nilai kesejarahan, dalam hal ini militer
Indonesia dipersepsikan sebagai institusi yang memiliki sejarah sendiri sebagai
tentara rakyat yang berperan besar dalam menghadapi perlawanan militer ;
Mengamankan Idiologi negara, dalam hal ini militer bertanggung jawab
mengamankan ideologi negara, Pancasila; Bentuk Negara, Militer merumuskan
pandangan bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang diatur dalam
system kekeluargaan. Militer dan sipil adalah satu keluarga, yang memiliki hak
dan tanggung jawab yang sama. Berangkat darisejumlah asumsi dasar tersebut
menjadikan pihak militer dengan penuh keyakinan menerapkan kebijakan dwifungsi
yang dengan praktek ini membawa TNI kemudian menjadi bagian penting dalam
system kekuasaan di Indonesia. Militer muncul sebagai Power Elite
(Zainuddin Maliki, Birokrasi Militer dan Partai politik dalam Negara
Transisi, 2000).
Ditinjau dari
sudut Sosiologis, Maurice Duverger dalam bukunya Sosiologi Politik
memberikan definisi atas istilah Sosiologi Politik sebagai suatu ilmu kekuasaan
didasarkan pada pendekatan sosiologi. Dua factor penyebab antagonisme politik
yaitu sebab sebab individu (individual dan psikologis) dan sebab sebab kolektif
(perjuangan kelas, konflik rasial, konflik antar kelompok horisontalantara
kelompok kelompok territorial), dalam buku yang ditulis oleh DR. Salim Said
terlihat bahwa munculnya kekuatan militer dalam kancah perpolitikan tidak
terlepas dari sebab sebab kolektif dimana militer menganggap pihak
politisi sipil tidak mampu melaksanakan perannya di kancah politik sehingga
menuntut dirinya untuk tampil menggantikan posisi mereka.
Doktrin
Dwifungsi yaitu fungsi sebagai kekuatan sosial politik dan fungsi sebagai
kekuatan pertahan dan keamanan. Seperti pengungkapan tindakan tindakan TNI
dalam menghadapi hakekat ancaman yang dihadapi oleh bangsa Indonesia baik
berupa subversi, gangguan kamtibmas, ancaman dari luar negeri, pelanggaran
wilayah maupun kerawanan yang ditimbulkan oleh ekstrim kiri maupun ekstrim
kanan. Upaya yang dilakukan TNI dalam rangka pemantapan ketahanan nasional
hanya dilihat dari perspektif kedudukan TNI sebagai fungsi kekuatan sosial
politik, bukan dari fungsi pertahan keamanan sebagaimana konsep dwifungsi.
Kepemimpinan TNI
dalam kancah politik Indonesia , dinyatakan bahwa keterlibatan politik militer
di Indonesia dimulai sejak pertengahan tahun limapuluhan dan mencapai puncaknya
pada tahun 1966 seiring dengan makin mundurnya peran politik golongan sipil. Kemunduran kekuatan sipil tersebut
pada akhirnya mengubah hubungan kekuatan antara sipil dan militer kearah yang
menguntungkan pihak TNI. Keadaan inilah yang digunakan oleh TNI
untuk memperbesar peranan politik mereka dalam pemerintahan. Kondisi ini juga
diakui oleh Letjen TNI Agus Widjojo, bahwa memang telah terjadi over reach
(kebablasan) tentara dalam fungsi-fungsi non militer di masa lalu sebagai
akibat dari: Peran generasi 1945 yang berjuang dengan cara gerilya; kesiapan
tentara menduduki posisi-posisi administrative yang ditinggalkan pejabat
colonial Belanda; pandangan diri (self perception) tentara sebagai agen
pembangunan (agent of development) dan agen persatuan nasional (agent of nation
unity), serta pengawal bangsa (guardian of the nation; persepsi mengenai demokrasi
parelmenter yang gagal memajukan kemakmuran bangsa di tahun lima puluhan;
kekuasaan yang diberikan kepada militer dalam masa SOB (martial Law) sejak
terjadinya pemberontakan regional ; lemahnya pengawasan system politik.
BAB IV. MILITER DAN POLITIK PADA ERA
REFORMASI
Tuntutan
masyarakat mengenai dihapuskannya dwifungsi akhirnya bertemu dengan pemikiran
reformasi yang berkembang dalam TNI melalui ditinggalkannya Empat Paradigma
Baru. Pada tangggal 12 April 200 Pimpinan TNI menegaskan bahwa tugas
pokok TNI sudah berubah secara signifikan, TNI tidak lagi mengemban tugas
social politik, dan tidak juga mengemban tanggung jawab bidang keamanan
yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Polisi
.
Tinjauan terhadap peran politik militer
Dalam
kaitannya dengan kritik yang disampaikan oleh Letjen TNI (Purn) A Hasnan Habib
dalam purnakata, kami sependapat yakni bahwa DR.Salim Said bagaimanapun juga
sebagai pengamat TNI yang berada diluar institusi TNI, tidak hidup dan berkarya
dalam lembaga dan komunitas militer sehingga tidak dapat menghayati kehidupan,
pelaksanaan tugas,semangat dan perasaan suatu komunitas yang disebut TNI atau
militer. Karena terdapat hubungan emosional diantara sesama warga komunitas
baik secara horizontal maupun secara vertical yang mungkin dapat
dijelaskan tetapi tidak dapat diresakan oleh DR.Salim Said yang berada diluar
komunitas itu. Kekhasan komunitas militer itu dipertegas lagi dengan hakikat
lembaga militer yang memiliki struktur dan system hirarki sangat ketat yang
sama sekali melarang munculnya pemikiran dan kepentingan pribadi yang
bertentangan dengan Esprit deCorps.Peran politik militer dalam buku
DR.Salim said dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu :
- Perspektif Sosiologis Militer yang dalam hal ini lebih menekankan pada hubungan sosial antara para elite militer dengan masalah sosial budaya yang diakibatkannya.
- Perspektif Perbandingan Politik, yang mana kelompok militer dianalisis sebagai kekuatan politik yang berperan penting dalam proses perubahan yang direncanakan dalam suatu negara.
- perspektif strategi dan ilmu hubungan internasional yang menitikberatkan pada peran militer dalam interaksi hubungan antar bangsa sebagai dampak perkembangan pemikiran strategis darinya.
Hapusnya dwi fungsi ABRI
Dalam
penelitian yang di lakukan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada
tahun anggaran 1996-1997 dalam dua tahap di lima belas propinsi tentang harapan
masyarakat terhadap Peran Sosial – Politik ABRI menghasilkan beberapa temuan di
lapangan antara lain yaitu empat kategori kelompok :
- Kelompok yang menolak dwi fungsi ABRI bertolak dari pemikiran yang menentang kehadiran ABRI dalam maslah non-,iliter. Kelompok ini jelas berpegang pada prinsip supremasi sipil, dan hanya mengijinkan tentara terlibat pada urusan non-militer pada keadaan darurat.
- Kelompok yang tidak apriori menolak peran sosial-politik ABRI, tetapi menghendaki pembatasan yang disesuaikan dengan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Secara terinci kelompok ini menunjuk MPR sebagai tempat ABRI untuk berperan. Dengan melibatkan ABRI di MPR, kelompok ini mengharapkan ABRI bisa terhindar dari kudeta.
- Kelompok yang tergolong pragmatis melihat dwi fungsi ABRI sebagai tidak terhindarkan lagi karena dalam politik riil kekuatan masih di perlukan. Kendati demikian kelompok ini berharap agar realitas politik tersebut hendaknya tidak di jadikan ukuran atau landasan dalam mengambil kebijakan secara nasional dan lintas waktu. Oleh sebab itu kelompok ini berharap agar Peran sosial-politik ABRI di bidang kekaryaan harus senantiasa disesuaikan dengan kebutuhan.
- Kelompok struktural melihat ABRI sebagai penjamin stabilitas pembangunan dan persatuan bangsa. Bagi kelompok ini pengurangan jumlah personel ABRI dalam jabatan-jabata sipil yang selama ini di pegangnya, bahkan di DPR-RI akan mempengaruhi proses manajemen pemerintahan pada umumnya, dan pengendalian konflik pada khususnya.
Berdasarkan temuan tersebut, LIPI
memberikan enam rekomendasi kebijakan yaitu :
- Dalam rangka reformasi politik, dengan semakin mapannya lembaga-lembaga politik dan sipil, ABRI perlu menitikberatkan perannya secara strategis dan mengurangi keterlibatannya dalam politik praktis, keorganisasian dan kepartaian.
- Dalam bidang sosial-ekonomi, jika kemanunggalan ABRI dan rakyat di masa lalu bersifat fisik, kini harus ditujukan kepada tantangan yang lebih abstrak, seperti bagaimana meningkatkan demokrasi, menanggapi masalah kemiskinan, kesenjangan sosial dan masalah hak asasi manusia.
- Dalam pemerintahan, peran sosial-politik ABRI atau dwi fungsi di perlukan untuk mendorong dinamika penyelenggaraannya. Kehadiran ABRI didalamnya hanya dimungkinkan pada cabang pemerintahan yang memerlukan penanganan keamanan.
- ABRI diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan politik luar negeri, yang di maksudkan di sini yaitu adalah perlunya ABRI secara militer menjadi sangat kuat sehingga negara asing tidak tergoda untuk memandang enteng negara kita, terutama ketika memiliki masalah dengan beberapa negara tetangga dalam urusan tapal batas.
- Peran sosial-politik ABRI di perlukan untuk mempercepat proses pengembangan sumber daya manusia indonesia yang handal dalam kompetisi internasional. Caranya dengan menciptakan iklim yang kondusif terhadap daya cipta dan daya saing.
- Peran sosial-politik ABRI di arahkan untuk membantu proses penegakan hukum dan pemberdayaan masyarakat.
Pada era baru pasca lengsernya
Soeharto, militer Indonesia masih akan memainkan peranan politik untuk waktu
entah berapa lamalagi, semua orang yang mengerti politik di Indonesia melihat
itu sebagai kenyataan yang sulit ditolak. Tetapi bentuk dan besar kecilnya
peranan itu nantinya akan merupakan hasil dari kesepakatan antara
kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia lewat dialog yang panjang
mengenai format baru politik Indonesia serta posisi militer didalam format
tersebut.[49]
BAB V. PENUTUP
Demikian
sekilas gambaran perjalanan politik TNI sejak kelahirannya, dimana terlihat
pasang surut hubungan sipil-militer yang menarik untuk dikaji lebih jauh.
Dan sekiranya perlu diingat akan pelajaran berharga yang mungkin bisa dipetik
dari hal di atas adalah bahwa militer tidak akan campur tangan dalam panggung
politik jika rezim sipil yang berkuasa mempunyai legitimasi yang kuat dan
pertikaian antar kelompok kepentingan dari pihak sipil tidak mengganggu
kestabilan dan jalannya pemerintahan. Militer akan melakukan intervensi
jika ketidakpastian politik begitu tinggi, para politisi lemah atau melakukan politicking
demi kepentingan sesaat atas nama golongannya masing-masing yang
menimbulkan ketidakstabilan politik. Memang sudah seharusnya didalam negara
demokrasi seperti Indonesia ini, militer secara profesional dan proporsional di
kembalikan kepada peran dan fungsinya yang mengemban tugas pokok sebagai alat
pertahanan negara. Sudah sepatutnya TNI lebih konsentrasi untuk membenahi diri
dan menyiapkan kembali segala yang di perluakan untuk mempertahankan negara ini
dari segala ancaman dari luar, dan tidak lagi mengahrapkan untuk berkecimpung
di dunia politik praktis yang merupakan wilayah sipil. Berbagai tantangan telah
menunggu TNI dan itu tidaklah mudah, seperti halnya beberapa waktu yang lalu
negara ini di hadapkan pada ketegangan dengan militer dari negara tetangga
seperti malaysia berkaitan dengan wilayah perbatasan. Hal tersebut sebenarnya
tidak akan terjadi seandainya militer kita kuat dan konsisten dengan
profesionalisme tugasnya serta di dukung dengan peralatan persenjataan modern
yang di segani oleh negara-negara lain. Sudah cukup kiprah militer di dalam
kancah perpolitikan di Indonesia, dan negara ini telah banyak merasakan akibat
yang di timbulkannya. Rakyat Indonesia sekarang ni mengaharapkan TNI jauh
lebih profesional, dan bisa di banggakan karena kiprahnya dalam mempertahankan
kedaulatan bangsa dan negara, dan bukan karena hal-hal lainnya yang bukan
wilayah profesionalisme tugasnya.
DAFTAR
PUSTAKA
A.H. Nasution, Sekitar
Perang Kemerdekaan Indonesia, Volume III,
Bandung, Penerbit Angkasa, 1977
A.H. Nasution, TNI, Volume
II, Jakarta, Penerbit Seruling Masa, 1968
________, Sejarah
Tentara Nasional Indonesia, Mabes TNI, 2000
________,Dinas Sejarah Militer Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat
Britton, Peter. Profesionalisme dan Ideologi Militer
Indonesia, Perspektif Tradisi-Tradisi Jawa dan Barat. Jakarta, LP3ES, 1996,
terjemahan , hal. 159-162.
Huntington, Samuel P. The Soldier
and The State: The Theory and Politics Civil-military Relations, Harvard
University Press, Cambridge, 1957
Ispandriano, Lukas S. & Thomas
Hanitzsch, Media-Militer-Politik, “Crisis Communication: Perspektif Indonesia
dan Internasional”, Galang Press 2002
Nurhadi, Robi. Spd. M. Si. Konflik
Presiden Versus Polri di Era Transisi Demokrasi, Pusat studi politik Madani
Institute, Jakarta, 2004, hal. 43
Nordlinger, Eric
A. Soldiers in
Politics: Military Coups and Government,
Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 1977, diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia: Militer dalam Politik, Penerbit Rineka Cipta, 1990
Perlmutter,
Amos The Military and Politics and Modern Times: On Professionals,
Praetorians and Revolutionary Soldiers, Yale University Press, New Haven
dan London, 1977, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Militer
dan Politik, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2000
Perlmutter,
Amos dalam Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru
di tengah Pusaran Demokrasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 73
Saleh As’ad Djamhari, Drs. Ikhtisar
Sejarah Perjuangan ABRI 1945-sekarang, Markas Besar Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia-Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1995
Salim Said, Genesis
of Power, General Sudirman and The Indonesian Military in Politics:
1945-1949, Singapura dan Jakarta: ISEAS dan Pustaka Sinar Harapan, 1991
Salim
Said, Tentara Nasional Indonesia
dalam Politik: Dulu, Sekarang dan Masa Datang
; Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, Jakarta,
Penerbit Pustaka Sinar Harapan, 2001
Salim Said, Tumbuh
dan Tumbangnya Dwifungsi, Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia, Penerbit
Rineka Cipta, 2002
Samego, Indira. dalam TNI di Era Perubahan, Jakarta,
Erlangga 2000, hal. 3-10.
Yahya
A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam
Politik di Indonesia 1945-1966, Penerbit Gadjah Mada Press, 1982
No comments:
Post a Comment