Friday, 16 December 2016

Perspektif Implementasi Pemerintahan



IMPLEMENTASI PEMERINTAHAN DILIHAT DARI 4 PERSPEKTIF

v  PERSPEKTIF PLURALIS

Perspektif pluralis menganggap pemerintahan lokal merupakan ruang lahirnya kebebasan, partisipasi, pendidikan politik dan tuntutan dari masyarakat untuk lahirnya kebijakan. yang meyakini bahwa pemerintahan lokal melindungi hak-hak warganegara dan meningkatkan perlindungan dari represi kekuasaan. Seorang pluralis yakin bahwa pada perkembangan desentralisasi, pemerintah lokal membantu mencegah depotisme (kelaliman). Bagi kaum pluralis esensi kebebasan terletak pada pembagian kekuasaan. Kelompok ini memandang Negara sebagai entitas terpatah-patah, fragmented atau disintegrated, bukan kesatuan yang koheren.
Salah satu contoh implementasi perspektif pluralis di Indonesia adalah Otonomi Daerah, dimana hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus diri sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Begitupun adanya pemekaran wilayah yang dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat.
Contoh yang lain adalah penyampaian aspirasi masyarakat di aras lokal. Pada era reformasi ini warga masyarakat secara aktif sudah berusaha menyampaikan aspirasi politiknya dan juga berusaha mewujudkannya. Wujud lain dari perpektif pluralis adalah dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan adanya Alokasi Dana Desa  memberikan kesempatan kepada masyarakat desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan persyaratan yang diamanatkan yakni diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi dan keaneka-ragaman daerah. Masyarakat memiliki peran cukup sentral untuk menentukan pilihan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasinya. Masyarakat memiliki kedaulatan yang cukup luas untuk menentukan orientasi dan arah kebijakan pembangunan yang dikehendaki.





v  PERSPEKTIF MARXIS

Implementasi perspektif marxis di Indonesia dimana kekuasaan terpusat diagungkan sedangkan pemerintah lokal diabaikan, salah satu contoh yang terjadi di Indonesia terdapat di dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang berusaha memangkas kewenangan daerah kabupaten serta dapat menghambat pembangunan dearah. Semisal di Kampar pembangunan Jembatan Bangkinang yang seharusnya bisa dipercepat malah terlambat karena tim sembilan yang mengawasi berada di tingkat provinsi. Penerbitan izin pertambangan dan energi, izin mineral non logam dan batuan atau galian C, kehutanan perikanan dan kelautan akan diambil alih pemerintah provinsi.. Ini aneh, karena yang mengetahui wilayah adalah pemerintah daerah kabupaten, namun yang mengeluarkan izin ada di provinsi. Yang tertinggal hanya kewenangan daerah di bidang pertambangan untuk panas bumi. Ini bukti bahwa perspektif marxis masih ada di Indonesia di mana kepentingan pemerintah lokal diabaikan, kasus pemangkasan kewenangan daerah kabupaten diatas namanya otonomi setengah hati yang diberikan oleh pusat kepada daerah

v  PERSPEKTIF NEOLIBERALISME

      Implementasi perspektif neoliberalisme di Indonesia sebagai faham Anti Negara dimana kegiatan perekonomian haruslah diserahkan kepada kepentingan masing-masing individu, bukan diatur oleh negara. Salah satu contohnya adalah penghapusan subsidi bbm dari pemerintah sebagai upaya pemerintah untuk menghidupkan Neoliberalisme di Indonesia dimana  harga bbm diserahkan ke mekanisme pasar akibatnya harga kebutuhan pokok melonjak naik akhirnya akan menguntungkan pihak tertentu. Ada beberapa regulasi yang mendorong terjadinya pencabutan subsidi berbau neoliberalisme; Pencabutan subsidi disektor pendidikan dengan ditopang dengan regulasi seperti Undang-Undang no. 12 Pendidikan Tinggi(UU PT) tahun 2012, pencabutan subsidi sektor MIGAS ditopang dengan regulasi seperti UU No 22 tahun 2001 tentang MIGAS, dan beberapa peraturan pemerintah, maupun UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing,


v  PERSPEKTIF KULTURALIS
Budaya politik lokal tumbuh dan berkembang pada kelompok-kelompok masyarakat yang mewariskan nilai-nilai positif yang sama, sehingga harus dikembangkan dalam penyelenggraan pemerintahan, khususnya pada sistem birokrasi di daerah (Priyatmoko, 1991:254). Hal ini dikarenakan budaya politik lokal tersebut, mempunyai nilai sejarah sebagai bentuk perjuangan untuk membentuk sistem politik, mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan, dan juga adanya aspek-aspek heroik yang membanggakan. Salah satunya contohnya adalah model budaya politik Jawa dan nilai-nilai filosofis di dalamnya. Model budaya politik Jawa ini terkait dengan sistem birokrasi lokal yang dianut oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dalam konsep budaya politik Jawa, dikenal sistem politik patrimonial. Sistem patrimonial artinya sistem pewarisan berdasarkan garis keturunan ayah. Dengan demikian, pewarisan kekuasaan yang ada pada masyarakat Jawa didasarkan pada garis keturunan ayah bukan ibu. Posisi kaum lelaki menjadi bagian yang sangat penting dalam pengambilan keputusan maupun pewarisan tahta (Zulkarnain, 2012:7).  Patrimonialisme Jawa ini juga menggambarkan sistem kekuasaan yang berpusat pada satu orang penguasa yaitu raja, sedangkan yang lain mengidentifikasikan kepentinganya. Seorang membagikan sumber daya kekuasaannya kepada pihak yang dapat dipercaya dan memiliki pengaruh besar dimasyarakat untuk menjaga keberlangsungan dan stabilitas kekuasaanya. 
Konsep budaya politik patrimonialisme Jawa inilah yang kemudian diterapkan pada sistem birokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jabatan dan keseluruhan hirarki birokrasi didasarkan atas hubungan garis keturunan ayah atau hubungan personal. Patrimonialisme pada birokrasi dibangun melalui rekrutmen abdi dalem (Jati, 2012:139). Raja yang juga sekaligus sebagai gubernur menggunakan birokrasi untuk memperkuat loyalitas masyarakat. Budaya politik inilah yang menciptakan sebuah simbiosis mutualisme dimana para birokrat membutuhkan gelar kerajaan untuk menaikkan status sosial dan Sultan sebagai raja dan sekaligus gubernur membutuhkan dukungan untuk menjaga stabilitas kekuasaannya. Konsep budaya politik inilah yang telah dimanifestasikan oleh para birokrat untuk mendukung Sultan menjadi gubernur dalam pembahasan UUK DIY.
     
IMPLEMENTASI PEMERINTAHAN DILIHAT DARI 4 PENDEKATAN

Melihat Masalah Korupsi dilihat dari Pendekatan Kelembagaan, Kekuasaan, teori system dan
v  PENDEKATAN KELEMBAGAAN
Apabila masalah korupsi dilihat dari perspektif kelembagaan, kami bisa mengaitkannya dengan bagaimana pola korupsi yang terjadi di Kelembagaan Negara, Terjadinya korupsi pada suatu lembaga atau instansi pasti memiliki pola – pola tertentu dalam pelaksanaannya. Menurut (Fadjar 2002), pola terjadinya korupsi dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: pertama, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kewenangan tertentu dengan pihak lain dengan cara sogok menyogok, suap, mengurangi standarspesifikasi, atau volume dan penggelambungan dana. Hal ini dikenal denganMercenery abuse of power. Biasanya penyalahgunaan wewenang seperti inidilakukan oleh pejabat dengan level kedudukan yang tidak terlalu tinggi dan bersifat non politis. Kedua Discretinery Abuse of Power, pejabat yang memiliki kewenangan istimewa seperti walikota/bupati menyalahgunakanwewenangnya dengan cara mengeluarkan kebijakan atau peraturan tertentu yang bias menjadikan pihak tersebut dapat bekerjasama dengan pihak tertentu.Ketiga Ideological Abuse of Power, biasanya pada pejabat untuk tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu demi mencapai jabatan strategis pada birokrasiatau lembaga eksekutif dan pada waktu yang akan datang mereka mendapatkan kompensasi atas tindakan tersebut.
Contoh Kasus : Korupsi Yayasan Bestari, DPRD Kabupaten Pontianak (legislatif – kabupaten). Lewat beberapa pertemuan informal, Bupati dan Pimpinan DPRD sepakat untuk memberi dana kepada Yayasan Bestari dalam APBD 2002. Setelah APBD dicairkan, dana tersebut dibagikan kepada 45 orang anggota DPRD dalam 2 tahap, tahap I sebesar Rp 1,13 Milyar dan tahap II sebesar Rp 1,7 Milyar. Meski praktek itu telah berjalan beberapa waktu, namun mulai Oktober 2003 sekelompok kontraktor yang merasa diperlakukan tidak adil dalam proses tender pembangunan melaporkan dugaan korupsi kepada Kejaksaan Negeri setempat. Kasus ini melibatkan LSM dan asosiasi masyarakat dalam jumlah yang cukup besar, setidaknya terdapat 37 organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, pengacara, dan akademisi dengan total 332 pemberitaan di media massa. Bahkan, Keraton Amantubillah melakukan dukungan secara terbuka bagi penjatuhan sanksi hukum kepada pelaku korupsi. Sayangnya koalisi aktor pendorong digerogoti oleh politisasi golongan/suku dan adanya suap terhadap beberapa tokoh LSM. Tanggal 12 Mei 2005, tiga tersangka dalam kasus ini diputus bebas. JPU sudah mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung namun hingga penelitian ini berakhir (2007) belum ada kejelasan tentang keputusan yang diambil oleh lembaga hukum tertinggi itu

v  PENDEKATAN KEKUASAAN
Jika dikaitkan dengan pendekatan kekuasaan, maka Korupsi di identikkan dengan Kekuasaan bahwa dengan Kekuasaan seseorang dengan mudah melakukan tindakan korupsi ini.
Contoh Kasus: Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dinyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka baru dalam dua kasus dugaan korupsi yakni sengketa Pilkada Kabupaten Lebak serta kasus Pengadaan Alat Kesehatan di Provinsi Banten. Begitupun yang terjadi oleh Angelina Sondakh dan Kasus yang menimpa Menpora Andi Mallarangeng serta Mantan Menteri Agama Suryadarma Ali, semua tokoh ini menggunakan kekuasaan untuk merebut uang Negara.
v  PENDEKATAN TEORI SISTEM
Jika dikaitkan dengan pendekatan teori system, maka Korupsi juga ada mata rantainya, seseorang melakukan korupsi bukan hanya karena kultur atau budaya tetapi melainkan juga struktur seperti halnya ada kesempatan atau ada cela untuk melakukan tindakan tersebut serta moral dan etika para pejabat yang kurang baik saat ini. Kasus korupsi juga terjadi karena Lemahnya peraturan perundang-undangan sehingga banyak celah-celah yang dimanfaatkan para koruptor, sehingga tidak khawatir dijerat oleh hukum dan dikarenakan ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor; Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak yang berwajib melakukan pengawasan baik pengawasan yang dilakukan di dalam instansi maupun pengawasan yang dilakukan di luar instansi, dan juga lemahnya pengawasan publik; dan Dimonopolinya kekuasaan oleh para koruptor yang kebanyakan adalah orang-orang yang memimpin atau yang bekerja disebuah instansi pelayanan publik.
Begitupun dengan penanganannya harus menggunakan teori system, semua elemen harus
Contoh Kasus: Gaji pegawai negeri yang tidak sebanding dengan kebutuhan yang semakin tinggi; tidak hanya itu pengawasannya juga yang kurang baik keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.

v  PENDEKATAN EKONOMI POLITIK

Pendekatan ekonomi politik melihat kasus korupsi sebagai tindakan yang akan berdampak pada system ekonomi dan politik. Korupsi merupakan permasalan mendesak yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dengan geliat ekonomi yang sehat. Semakin besar tindak pidana dalam suatu Negara maka akan semakin sulit pembangunan dapat terwujud. Apabila pembangunan tidak merata maka sangat berpengaruh terhadap merosotnya perekonomian hal ini dapat berdampak pada kehidupan khalayak seperti kemiskinan, pengangguran akan meningkat.

No comments:

Post a Comment