IMPLEMENTASI
PEMERINTAHAN DILIHAT DARI 4 PERSPEKTIF
v
PERSPEKTIF PLURALIS
Perspektif pluralis menganggap pemerintahan lokal merupakan
ruang lahirnya kebebasan, partisipasi, pendidikan politik dan tuntutan dari
masyarakat untuk lahirnya kebijakan. yang meyakini
bahwa pemerintahan lokal melindungi hak-hak warganegara dan meningkatkan
perlindungan dari represi kekuasaan. Seorang pluralis yakin bahwa pada
perkembangan desentralisasi, pemerintah lokal membantu mencegah depotisme
(kelaliman). Bagi kaum pluralis esensi kebebasan terletak pada pembagian
kekuasaan. Kelompok ini memandang Negara sebagai entitas terpatah-patah,
fragmented atau disintegrated, bukan kesatuan yang koheren.
Salah
satu contoh implementasi perspektif pluralis di Indonesia adalah Otonomi Daerah,
dimana hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus diri sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Begitupun adanya pemekaran wilayah yang
dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui
peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat.
Contoh
yang lain adalah penyampaian aspirasi masyarakat di aras lokal. Pada era
reformasi ini warga masyarakat secara aktif sudah berusaha menyampaikan
aspirasi politiknya dan juga berusaha mewujudkannya. Wujud lain dari perpektif
pluralis adalah dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan adanya Alokasi
Dana Desa memberikan kesempatan kepada masyarakat desa untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan persyaratan yang
diamanatkan yakni diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan
potensi dan keaneka-ragaman daerah. Masyarakat memiliki peran cukup sentral
untuk menentukan pilihan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan
aspirasinya. Masyarakat memiliki kedaulatan yang cukup luas untuk menentukan
orientasi dan arah kebijakan pembangunan yang dikehendaki.
v
PERSPEKTIF MARXIS
Implementasi perspektif marxis di Indonesia dimana
kekuasaan terpusat diagungkan sedangkan pemerintah lokal diabaikan, salah satu
contoh yang terjadi di Indonesia terdapat di dalam Undang-undang Nomor 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah yang berusaha memangkas kewenangan daerah
kabupaten serta dapat menghambat pembangunan dearah. Semisal di Kampar pembangunan
Jembatan Bangkinang yang seharusnya bisa dipercepat malah terlambat karena tim
sembilan yang mengawasi berada di tingkat provinsi. Penerbitan izin
pertambangan dan energi, izin mineral non logam dan batuan atau galian C,
kehutanan perikanan dan kelautan akan diambil alih pemerintah provinsi.. Ini
aneh, karena yang mengetahui wilayah adalah pemerintah daerah kabupaten, namun
yang mengeluarkan izin ada di provinsi. Yang
tertinggal hanya kewenangan daerah di bidang pertambangan untuk panas bumi. Ini
bukti bahwa perspektif marxis masih ada di Indonesia di mana kepentingan
pemerintah lokal diabaikan, kasus pemangkasan kewenangan daerah kabupaten
diatas namanya otonomi setengah
hati yang diberikan oleh pusat kepada daerah
v PERSPEKTIF
NEOLIBERALISME
Implementasi
perspektif neoliberalisme di Indonesia sebagai faham Anti Negara dimana kegiatan
perekonomian haruslah diserahkan kepada kepentingan masing-masing individu,
bukan diatur oleh negara. Salah satu contohnya adalah penghapusan subsidi bbm dari
pemerintah sebagai upaya pemerintah untuk menghidupkan Neoliberalisme di
Indonesia dimana harga bbm diserahkan ke
mekanisme pasar akibatnya harga kebutuhan pokok melonjak naik akhirnya akan
menguntungkan pihak tertentu. Ada
beberapa regulasi yang mendorong terjadinya pencabutan subsidi berbau
neoliberalisme; Pencabutan subsidi disektor pendidikan dengan ditopang dengan
regulasi seperti Undang-Undang no. 12 Pendidikan Tinggi(UU PT) tahun 2012,
pencabutan subsidi sektor MIGAS ditopang dengan regulasi seperti UU No 22 tahun
2001 tentang MIGAS, dan beberapa peraturan pemerintah, maupun UU No.1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing,
v PERSPEKTIF
KULTURALIS
Budaya politik lokal tumbuh dan berkembang pada
kelompok-kelompok masyarakat yang mewariskan nilai-nilai positif yang sama,
sehingga harus dikembangkan dalam penyelenggraan pemerintahan, khususnya pada
sistem birokrasi di daerah (Priyatmoko, 1991:254). Hal ini dikarenakan budaya
politik lokal tersebut, mempunyai nilai sejarah sebagai bentuk perjuangan untuk
membentuk sistem politik, mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan, dan juga adanya aspek-aspek heroik yang membanggakan.
Salah satunya contohnya adalah model budaya politik Jawa dan nilai-nilai
filosofis di dalamnya. Model budaya politik Jawa ini terkait dengan sistem
birokrasi lokal yang dianut oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dalam
konsep budaya politik Jawa, dikenal sistem politik patrimonial. Sistem patrimonial
artinya sistem pewarisan berdasarkan garis keturunan ayah. Dengan demikian, pewarisan
kekuasaan yang ada pada masyarakat Jawa didasarkan pada garis keturunan ayah
bukan ibu. Posisi kaum lelaki menjadi bagian yang sangat penting dalam
pengambilan keputusan maupun pewarisan tahta (Zulkarnain, 2012:7). Patrimonialisme
Jawa ini juga menggambarkan sistem kekuasaan yang berpusat pada satu orang
penguasa yaitu raja, sedangkan yang lain mengidentifikasikan kepentinganya.
Seorang membagikan sumber daya kekuasaannya kepada pihak yang dapat dipercaya
dan memiliki pengaruh besar dimasyarakat untuk menjaga keberlangsungan dan
stabilitas kekuasaanya.
Konsep
budaya politik patrimonialisme Jawa inilah yang kemudian diterapkan pada sistem
birokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jabatan dan keseluruhan hirarki
birokrasi didasarkan atas hubungan garis keturunan ayah atau hubungan personal.
Patrimonialisme pada birokrasi dibangun melalui rekrutmen abdi dalem
(Jati, 2012:139). Raja yang juga sekaligus sebagai gubernur menggunakan
birokrasi untuk memperkuat loyalitas masyarakat. Budaya politik inilah yang
menciptakan sebuah simbiosis mutualisme dimana para birokrat membutuhkan gelar
kerajaan untuk menaikkan status sosial dan Sultan sebagai raja dan sekaligus
gubernur membutuhkan dukungan untuk menjaga stabilitas kekuasaannya. Konsep
budaya politik inilah yang telah dimanifestasikan oleh para birokrat untuk
mendukung Sultan menjadi gubernur dalam pembahasan UUK DIY.
IMPLEMENTASI
PEMERINTAHAN DILIHAT DARI 4 PENDEKATAN
Melihat
Masalah Korupsi dilihat dari Pendekatan Kelembagaan, Kekuasaan, teori system
dan
v PENDEKATAN
KELEMBAGAAN
Apabila masalah
korupsi dilihat dari perspektif kelembagaan, kami bisa mengaitkannya dengan bagaimana
pola korupsi yang terjadi di Kelembagaan Negara, Terjadinya
korupsi pada suatu lembaga atau instansi pasti memiliki pola – pola tertentu
dalam pelaksanaannya. Menurut (Fadjar 2002), pola terjadinya korupsi dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu: pertama, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
seseorang yang memiliki kewenangan tertentu dengan pihak lain dengan cara sogok
menyogok, suap, mengurangi standarspesifikasi, atau volume dan penggelambungan
dana. Hal ini dikenal denganMercenery abuse of power. Biasanya
penyalahgunaan wewenang seperti inidilakukan oleh pejabat dengan level
kedudukan yang tidak terlalu tinggi dan bersifat non politis. Kedua Discretinery
Abuse of Power, pejabat yang memiliki kewenangan istimewa seperti
walikota/bupati menyalahgunakanwewenangnya dengan cara mengeluarkan kebijakan
atau peraturan tertentu yang bias menjadikan pihak tersebut dapat bekerjasama
dengan pihak tertentu.Ketiga Ideological Abuse of Power, biasanya pada
pejabat untuk tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya.
Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu demi mencapai jabatan
strategis pada birokrasiatau lembaga eksekutif dan pada waktu yang akan datang
mereka mendapatkan kompensasi atas tindakan tersebut.
Contoh Kasus
: Korupsi Yayasan Bestari, DPRD Kabupaten Pontianak (legislatif – kabupaten).
Lewat beberapa pertemuan informal, Bupati dan Pimpinan DPRD sepakat untuk
memberi dana kepada Yayasan Bestari dalam APBD 2002. Setelah APBD dicairkan,
dana tersebut dibagikan kepada 45 orang anggota DPRD dalam 2 tahap, tahap I
sebesar Rp 1,13 Milyar dan tahap II sebesar Rp 1,7 Milyar. Meski praktek itu
telah berjalan beberapa waktu, namun mulai Oktober 2003 sekelompok kontraktor
yang merasa diperlakukan tidak adil dalam proses tender pembangunan melaporkan
dugaan korupsi kepada Kejaksaan Negeri setempat. Kasus ini melibatkan LSM dan
asosiasi masyarakat dalam jumlah yang cukup besar, setidaknya terdapat 37
organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, pengacara, dan akademisi dengan total
332 pemberitaan di media massa. Bahkan, Keraton Amantubillah melakukan dukungan
secara terbuka bagi penjatuhan sanksi hukum kepada pelaku korupsi. Sayangnya
koalisi aktor pendorong digerogoti oleh politisasi golongan/suku dan adanya
suap terhadap beberapa tokoh LSM. Tanggal 12 Mei 2005, tiga tersangka dalam
kasus ini diputus bebas. JPU sudah mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung
namun hingga penelitian ini berakhir (2007) belum ada kejelasan tentang
keputusan yang diambil oleh lembaga hukum tertinggi itu
v
PENDEKATAN KEKUASAAN
Jika dikaitkan dengan pendekatan kekuasaan, maka Korupsi
di identikkan dengan Kekuasaan bahwa dengan Kekuasaan seseorang dengan mudah
melakukan tindakan korupsi ini.
Contoh Kasus: Gubernur
Banten Ratu Atut Chosiyah dinyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
tersangka baru dalam dua kasus dugaan korupsi yakni sengketa Pilkada Kabupaten
Lebak serta kasus Pengadaan Alat Kesehatan di Provinsi Banten. Begitupun yang
terjadi oleh Angelina Sondakh dan Kasus yang menimpa Menpora Andi Mallarangeng
serta Mantan Menteri Agama Suryadarma Ali, semua tokoh ini menggunakan
kekuasaan untuk merebut uang Negara.
v
PENDEKATAN TEORI SISTEM
Jika dikaitkan dengan pendekatan teori system, maka Korupsi juga ada
mata rantainya, seseorang melakukan korupsi bukan hanya karena kultur atau
budaya tetapi melainkan juga struktur seperti halnya ada kesempatan atau ada
cela untuk melakukan tindakan tersebut serta moral dan etika para pejabat yang
kurang baik saat ini. Kasus korupsi juga terjadi karena Lemahnya peraturan
perundang-undangan sehingga banyak celah-celah yang dimanfaatkan para koruptor,
sehingga tidak khawatir dijerat oleh hukum dan dikarenakan ringannya hukuman
yang dijatuhkan kepada para koruptor; Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh
pihak yang berwajib melakukan pengawasan baik pengawasan yang dilakukan di
dalam instansi maupun pengawasan yang dilakukan di luar instansi, dan juga
lemahnya pengawasan publik; dan Dimonopolinya kekuasaan oleh para koruptor yang
kebanyakan adalah orang-orang yang memimpin atau yang bekerja disebuah instansi
pelayanan publik.
Begitupun dengan penanganannya harus menggunakan teori system, semua
elemen harus
Contoh Kasus: Gaji pegawai negeri yang tidak
sebanding dengan kebutuhan yang semakin tinggi; tidak hanya itu pengawasannya
juga yang kurang baik keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk
melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti
semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
v PENDEKATAN
EKONOMI POLITIK
Pendekatan ekonomi politik melihat kasus korupsi
sebagai tindakan yang akan berdampak pada system ekonomi dan politik. Korupsi merupakan permasalan mendesak
yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dengan geliat ekonomi yang sehat.
Semakin besar tindak pidana dalam suatu Negara maka akan semakin sulit
pembangunan dapat terwujud. Apabila pembangunan tidak merata maka sangat
berpengaruh terhadap merosotnya perekonomian hal ini dapat berdampak pada
kehidupan khalayak seperti kemiskinan, pengangguran akan meningkat.
No comments:
Post a Comment